Mungkin
pembaca mengira penulis adalah bukan seorang perokok hal itu adalah asumsi yang
keliru dan prematur. Justru sebaliknya penulis adalah perokok yang menuju
kearah menjadi pecandu rokok. Termasuk saat menulis hingga selesai tulisan ini
penulis selalu ditemani berbatang-batang rokok, bahkan dalam sehari penulis
dapat menghabiskan tiga bungkus rokok. Mungkin juga diantara para pembaca adalah
golongan perokok seperti penulis, atau mungkin bisa lebih berat lagi. Inilah
fakta yang terjadi dalam masyarakat, berdasarkan riset kesehatan tahun 2013 bahwa
sebanyak 57% masyarakat Indonesia adalah perokok aktif dan setiap tahunnya
terjadi peningkatan, angka tersebut menempatkan Indonesia sebagai jumlah
perokok terbesar kedua didunia. Tentu betapa hebatnya dan dapat dibayangkan
jika para perokok di Indonesia kompak memilih satu partai saja dalam Pemilu,
sudah pasti partai yang didukung para perokok Indonesia ini mejadi pemenang
Pemilu mutlak.
Walaupun
jumlah perokok di Indonesia relatif besar, namun para perokok tetap saja merasa
resah dengan pertempuran hati (# Netral
Band). Apalagi ketika lingkungan sekitar perokok sensitif terhadap asap
rokok, ada rasa segan atau mungkin kesal muncul ketika para perokok menikmati
rokoknya. Pergolakan batin perokok kembali terjadi, ketika ada pertanyaan “apa
tidak mau anda berhenti merokok ?” Pertanyaan sejenis itu walaupun sederhana,
tapi bagi perokok butuh kecerdasan dan kesadaran secara psikologis untuk
menjawabnya. Penulis berani bertaruh walaupun dengan metode penelitian sangat
sederhana; jawaban para perokok atas pertanyaan sejenis itu terkadang sekenanya
ataupun tidak logis, namun dalam naruni para perokok yang paling dalam ada
pernyataan-pernyataan, diantaranya sejenisnya;
1. “saya
berusaha berhenti merokok, tapi saya tidak bisa karena merokok adalah salah
satu gaya hidup saya” pernyataan
sejenis ini biasanya dianut para perokok pemula atau usia muda. Perokok pada
fase ini sebenarnya sedang labil untuk mencari perhatian dan pengakuan dari
lingkungan sekitar.
2.
“saya berusaha berhenti merokok, tapi
keinginan merokok yang kuat muncul seketika tidak dapat saya jelaskan bahkan lebih
kuat mempengaruhi saya dan susah untuk dikendalikan” Pernyataan seperti ini biasanya
dianut oleh para perokok pada usia produktif, perokok yang hidup penuh
kesibukan pada multi dimensi, dan perokok yang bergelut dengan bebagai model
interaksi sosial. Pada fase ini perokok merokok sebagai bentuk pelampiasan
emosi atau pelepasan kepenatan pikiran.
3. “saya
tahu rokok itu tidak sehat tapi saya sudah terlanjur jadi seorang perokok,
apalagi yang saya cari dan wujudkan sebagai cita-cita, saya sudah merasa cukup
dengan hidup saya”
Pernyataan sejenis ini biasanya dianut oleh para perokok yang sudah mulai
hingga lanjut usia, perokok yang sudah menghasilkan generasi cucu, dan perokok
dengan taraf ekonomi menengah keatas. Perokok pada fase ini rokok sudah sebagai
kebiasaan yang melekat hingga dibawa mati.
4. “Tanpa
rokok saya tidak bisa berkegiatan ataupun berpikir” Pernyataan sejenis ini biasanya
dianut oleh para perokok yang sudah menjadikan rokok sebagai kebutuhan primer,
kelas perokok pecandu, dan maniak rokok. Seolah rokok sebagai candu oleh para
perokok dalam fase ini.
5. “Saya
bisa merokok, dan bisa mengendalikan kapan saya mau merokok, tapi saya heran
kenapa orang lain tidak bisa mengendalikan merokoknya” Penganut pernyataan ini relatif
sedikit, dan biasanya kelas perokok sosial. Atau terkadang sebenarnya dia bukan
seorang perokok, namun karena adanya suatu situasi membuat mereka terpaksa ikut
merokok.
Dari
pernyataan-pernyataan tersebut yang manakah menunjukkan diri anda ? Dalam kasus
ini sesungguhnya menempatkan dengan sendirinya bahwa seorang perokok juga
menjadi korban dalam kapasitasnya sebagai konsumen atas suatu produk. Lalu
bagaimana bisa terjadi seorang perokok dapat berhenti dari kebiasaan merokok ?
Dari pengamatan penulis pada beberapa perokok yang telah berhenti merokok, ada
suatu kesimpulan sederhana yang dapat ditarik. Seorang perokok akan berhenti
merokok ketika ada suatu kejadian hidup luar biasa bagi dirinya yang berkaitan
terhadap rokok. Acuan pengalaman kejadian hidup yang luar biasa seorang perokok
dengan perokok lainnya belum tentu sama. Bisa jadi seorang perokok berhenti
merokok karena pernah sakit akibat rokok, dikasus lain walaupun pernah sakit
akibat rokok perokok lainnya tidak menyatakan hal tersebut sebagai kejadian
hidup yang luar biasa sehingga tetap melanjutkan kebiasaan merokok.
Padahal
tidak seluruhnya keinginan perokok untuk merokok itu berasal dari dorongan
internal dirinya. Sebab-sebab eksternal diluar diri perokok turut menciptakan
generasi perokok di Indonesia. Meskipun banyaknya peraturan hukum yang mengatur
tentang rokok, diataranya;
- PP NOMOR 109 TAHUN 2012 TENTANG PENGAMANAN BAHAN YANG MENGANDUNG ZAT ADIKTIF BERUPA PRODUK TEMBAKAU BAGI KESEHATAN (Pasal 3) Penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan dilaksanakan dengan pengaturan :
a.
kandungan kadar nikotin dan tar;
b.
persyaratan produksi dan penjualan rokok;
c.
persyaratan iklan dan promosi rokok;
d.penetapankawasan tanpa rokok……………………………………………………………
- PP NOMOR 109 TAHUN 2012 TENTANG PENGAMANAN BAHAN YANG MENGANDUNG ZAT ADIKTIF BERUPA PRODUK TEMBAKAU BAGI KESEHATAN (Pasal 3) Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai:
a.
Produk Tembakau;
b.
tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
c.
penyelenggaraan;
d.
peran serta masyarakat; dan
e.
pembinaan dan pengawasan………………………………………………………
- Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan rokok ke wilayah Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan (Pasal 114 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan). Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa peringatan kesehatan adalah berupa tulisan dan dapat disertai gambar. Pasal ini pernah diuji materiil ke Mahkamah Konstitusi oleh Nurtanto Wisnu Brata beserta sebelas rekannya yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) DPD Jawa Tengah. Dalam putusannya, MK mewajibkan produsen dan importir rokok di Indonesia mencantumkan peringatan kesehatan dalam bentuk gambar, selain bentuk tulisan yang berlaku selama ini. Lebih jauh simak artikel Produsen Rokok Harus Cantumkan Gambar Peringatan.
- UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Dari
sekian banyak peraturan perundang-undangan yang dibuat, namun tidak dapat
dielakkan fakta peningkatan jumlah perokok di Indonesia terus terjadi setiap
tahun. Ketika suatu peraturan dibuat untuk mengatur suatu perbuatan hukum namun
perbuatan hukum tersebut justru yang terjadi sebaliknya meningkat, maka
diyakini bahwa adanya suatu regulasi kebijakan dalam penerapan peraturan
perundangan tersebut tidak berjalan optimal bahkan saling bertentangan. Sebagai
optimalisasi penerapan peraturan perundangan tentang rokok kiranya ada baiknya
untuk memperhatikan hal-hal berikut;
Perlunya Pengetatan Penjualan Rokok
Dalam
banyak undang-undang tidak ada satupun menyatakan atau mengatur secara tegas
mengenai pengetatan penjualan rokok ini. Walaupun ada pengaturannya hanya
sebatas; Pasal 25 PP No.109 Tahun 2012 Setiap orang dilarang menjual
Produk Tembakau: (a) menggunakan mesin layan diri; (b)kepada anak di bawah usia
18 (delapan belas) tahun; dan (c)kepada perempuan hamil. Penjalan rokok turut
dilarang pada Kawasan Tanpa Rokok sebagaimana diatur pada Pasal 50 PP No.109
Tahun 2012. Secara tekhnis undang-undang tidak mengatur bagaimana cara melarang
untuk menjual rokok pada golongan masyarakat tersebut. Termasuk juga
undang-undang tidak dapat memberikan penjelasan bagaimana pemerintah melakukan
pengawasan secara optimal terhadap larangan ini.
Dibalik
dilema sosial mengenai rokok ini, jika Negara serius hendak menekan
meningkatnya perokok sekaligus dapat mudahkan pengawasan rokok tersebut dengan
cara;
1. Membatasi
jumlah produksi rokok dalam periode tertentu pada setiap perusahaan rokok.
2. Secara
serta merta perusahaan rokok akan menyesuaikan harga dengan pembatasan jumlah
rokok yang diproduksi.
3. Menetapkan
toko-toko atau agen-agen bertanda khusus yang dapat menjual rokok.
4. Pembatasan
jumlah pembelian rokok, untuk dijual kembali selain berada pada toko-toko
ataupun again-agen yang yang telah ditentukan.
Selain
sebagai fungsi preventif dan pengawasan terhadap rokok, keempat cara ini sanagta
memungkinkan tidak mematikan perusahaan rokok sebagai bagian dari komponen
ekonomi nasional. Begitupun pada
perusahaan rokok, peringatan
dan gambar pada bungkus rokok hanya memiliki fungsi yang relatif minim terhadap
tujuan anti rokok, malah sebaliknya perusahaan rokok seringkali berlindung
secara hukum atas tulisan peringatan tersebut. Setidaknya perusahaan rokok
harus sensitif terhadap paradigma sosial yang berkembang dimasyarakat. Seketat
apapun pembatasan terhadap rokok namun pemerintah tidak mengatur daya paksa
secara keseluruhan baik dari produsen, distributor, pedagang, maka yang tampak
sesungguhnya perusahaan rokok secara langsung telah mencetak para pecandu
rokok.
Kebijakan CSR Rokok Harus dari Hulu
Hingga Hilir
Corporate Social Responsibility atau
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (namun bukan
hanya) perusahaan adalah memiliki berbagai bentuk tanggung jawab terhadap seluruh pemangku
kepentingannya, yang diantaranya adalah
konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek
operasional perusahaan yang mencakup aspek
ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Jika ditelaah secara mendalam memang perusahaan rokok di Indonesia
sudah menerapkan CSR dalam kebijakan internal perusahaannya, namun tidak ada
satupun program CSR perusahaan rokok dapat menyentuh langsung kepentingan
perokok yang menjadi konsumennya. Bagi perusahaan rokok; Perokok hanya sebatas
konsumen saja, atau sebagai kelompok marginal atas sebuah produk yang
dikeluarkan oleh perusahaan. Program CSR yang dibuat oleh perusahaan rokok
semata-mata hanya untuk melanggengkan penguasaan atas pasar. Lalu pertanyaannya; apakah program CSR perusahaan rokok berupa
penghijauan, beasiswa, dan sebagainya tidak penting ? Tentu saja program
seperti itu sangat penting terlebih untuk jangka panjang dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Namun kenapa harus ragu, jika perusahaan rokok memiliki sistem
jaringan kesehatan sendiri selayaknya BPJS pemerintah. Hal itu berarti
menghendaki agar perusahaan rokok memiliki data base para perokok atau
konsumennya. Dengan memiliki data base dari para perokok, banyak hal yang
kemudian dievaluasi termasuk bila adanya suatu program : dalam perbatang
yang dibeli dan dikonsumsi konsumen berapa rupiah konsumen telah dijamin
kesehatannya, sudah tentu hal tersebut harus didukung serta membutuhkan suatu program yang kompleks dan
teritegrasi politik kebijakan pemerintah.
Dilema Klasik Rokok Yang Tak Pernah
Tuntas
Dilema mengenai rokok sesungguhnya sudah
sangat klasik bagi masyarakat, disatu sisi harapan Negara mewujudkan kesehatan
masyarakat seluas-luasnya sedangkan disisi lain Negara berkewajiban
memaksimalkan tumbuhnya perekonomian yang stabil. Memang demikian adanya, penerimaan
cukai dalam APBN tahun 2014 sebesar Rp 116,28 triliun, dan nilai ini bukanlah
jumlah yang kecil. Patut ditanggapi secara kritis, yang sangat berkontribusi
besar secara langsung terhadap tercapainya nilai tersebut tidak lain adalah
perokok sendiri yang setiap tahun jumlahnya terus meningkat. Namun dari kondisi
tersebut justru menjadi notabena ketika pemerintah setiap tahun meningkatkan
target pencapaian pendapatan cukai rokok bagi Negara. Dalam hal-hal inilah para
perokok bebar-benar menjadi pecundang dimana mereka harus menghadapi beban kesehatan
mereka sendiri dikemudian hari, dan beriring bersamaan juga menjadi obyek pasar
atas harapan Negara mendapatkan penerimaan dari cukai rokok seoptimalnya. Jika kondisi
ini terus dibiarkan oleh Negara (state
neglect), maka dalam kondisi ini Negara sendirilah yang melakukan
pelanggaran hak asasi manusia. Untuk itu terkait masalah rokok ini, Negara memang
harus kembali mengevaluasi system yang ada saat ini agar kepentingan serta
kebutuhan para perokok, perusahaan rokok, dan Negara sendiri dapat ternaungi
secara arif dan bijaksana.
-----------------------------------------------------o0o---------------------------------------------------
Quote Prabu : Komunikasikan dengan Solusi, Solusikan dengan Komunikasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar