Total Tayangan Halaman

Kamis, 19 Maret 2015

MUTLAK PEROKOK JADI KORBAN & PECUNDANG …! CSR PERUSAHAAN ROKOK TIDAK MENYENTUH PEROKOK, NEGARA HANYA JADI PENONTON

Mungkin pembaca mengira penulis adalah bukan seorang perokok hal itu adalah asumsi yang keliru dan prematur. Justru sebaliknya penulis adalah perokok yang menuju kearah menjadi pecandu rokok. Termasuk saat menulis hingga selesai tulisan ini penulis selalu ditemani berbatang-batang rokok, bahkan dalam sehari penulis dapat menghabiskan tiga bungkus rokok. Mungkin juga diantara para pembaca adalah golongan perokok seperti penulis, atau mungkin bisa lebih berat lagi. Inilah fakta yang terjadi dalam masyarakat, berdasarkan riset kesehatan tahun 2013 bahwa sebanyak 57% masyarakat Indonesia adalah perokok aktif dan setiap tahunnya terjadi peningkatan, angka tersebut menempatkan Indonesia sebagai jumlah perokok terbesar kedua didunia. Tentu betapa hebatnya dan dapat dibayangkan jika para perokok di Indonesia kompak memilih satu partai saja dalam Pemilu, sudah pasti partai yang didukung para perokok Indonesia ini mejadi pemenang Pemilu mutlak.

Walaupun jumlah perokok di Indonesia relatif besar, namun para perokok tetap saja merasa resah dengan pertempuran hati (# Netral Band). Apalagi ketika lingkungan sekitar perokok sensitif terhadap asap rokok, ada rasa segan atau mungkin kesal muncul ketika para perokok menikmati rokoknya. Pergolakan batin perokok kembali terjadi, ketika ada pertanyaan “apa tidak mau anda berhenti merokok ?” Pertanyaan sejenis itu walaupun sederhana, tapi bagi perokok butuh kecerdasan dan kesadaran secara psikologis untuk menjawabnya. Penulis berani bertaruh walaupun dengan metode penelitian sangat sederhana; jawaban para perokok atas pertanyaan sejenis itu terkadang sekenanya ataupun tidak logis, namun dalam naruni para perokok yang paling dalam ada pernyataan-pernyataan, diantaranya sejenisnya;

     1.    “saya berusaha berhenti merokok, tapi saya tidak bisa karena merokok adalah salah satu gaya hidup saya” pernyataan sejenis ini biasanya dianut para perokok pemula atau usia muda. Perokok pada fase ini sebenarnya sedang labil untuk mencari perhatian dan pengakuan dari lingkungan sekitar.

    2.    “saya berusaha berhenti merokok, tapi keinginan merokok yang kuat muncul seketika tidak dapat saya jelaskan bahkan lebih kuat mempengaruhi saya dan susah untuk dikendalikan” Pernyataan seperti ini biasanya dianut oleh para perokok pada usia produktif, perokok yang hidup penuh kesibukan pada multi dimensi, dan perokok yang bergelut dengan bebagai model interaksi sosial. Pada fase ini perokok merokok sebagai bentuk pelampiasan emosi atau pelepasan kepenatan pikiran.

    3.    “saya tahu rokok itu tidak sehat tapi saya sudah terlanjur jadi seorang perokok, apalagi yang saya cari dan wujudkan sebagai cita-cita, saya sudah merasa cukup dengan hidup saya” Pernyataan sejenis ini biasanya dianut oleh para perokok yang sudah mulai hingga lanjut usia, perokok yang sudah menghasilkan generasi cucu, dan perokok dengan taraf ekonomi menengah keatas. Perokok pada fase ini rokok sudah sebagai kebiasaan yang melekat hingga dibawa mati.

    4.    “Tanpa rokok saya tidak bisa berkegiatan ataupun berpikir” Pernyataan sejenis ini biasanya dianut oleh para perokok yang sudah menjadikan rokok sebagai kebutuhan primer, kelas perokok pecandu, dan maniak rokok. Seolah rokok sebagai candu oleh para perokok dalam fase ini.

   5.    “Saya bisa merokok, dan bisa mengendalikan kapan saya mau merokok, tapi saya heran kenapa orang lain tidak bisa mengendalikan merokoknya” Penganut pernyataan ini relatif sedikit, dan biasanya kelas perokok sosial. Atau terkadang sebenarnya dia bukan seorang perokok, namun karena adanya suatu situasi membuat mereka terpaksa ikut merokok.

Dari pernyataan-pernyataan tersebut yang manakah menunjukkan diri anda ? Dalam kasus ini sesungguhnya menempatkan dengan sendirinya bahwa seorang perokok juga menjadi korban dalam kapasitasnya sebagai konsumen atas suatu produk. Lalu bagaimana bisa terjadi seorang perokok dapat berhenti dari kebiasaan merokok ? Dari pengamatan penulis pada beberapa perokok yang telah berhenti merokok, ada suatu kesimpulan sederhana yang dapat ditarik. Seorang perokok akan berhenti merokok ketika ada suatu kejadian hidup luar biasa bagi dirinya yang berkaitan terhadap rokok. Acuan pengalaman kejadian hidup yang luar biasa seorang perokok dengan perokok lainnya belum tentu sama. Bisa jadi seorang perokok berhenti merokok karena pernah sakit akibat rokok, dikasus lain walaupun pernah sakit akibat rokok perokok lainnya tidak menyatakan hal tersebut sebagai kejadian hidup yang luar biasa sehingga tetap melanjutkan kebiasaan merokok.

Padahal tidak seluruhnya keinginan perokok untuk merokok itu berasal dari dorongan internal dirinya. Sebab-sebab eksternal diluar diri perokok turut menciptakan generasi perokok di Indonesia. Meskipun banyaknya peraturan hukum yang mengatur tentang rokok, diataranya; 
  • PP NOMOR 109 TAHUN 2012 TENTANG PENGAMANAN BAHAN YANG MENGANDUNG ZAT ADIKTIF BERUPA PRODUK TEMBAKAU BAGI KESEHATAN (Pasal 3) Penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan dilaksanakan dengan pengaturan :
a. kandungan kadar nikotin dan tar;
b. persyaratan produksi dan penjualan rokok;
c. persyaratan iklan dan promosi rokok;
d.penetapankawasan tanpa rokok……………………………………………………………
  • PP NOMOR 109 TAHUN 2012 TENTANG PENGAMANAN BAHAN YANG MENGANDUNG ZAT ADIKTIF BERUPA PRODUK TEMBAKAU BAGI KESEHATAN (Pasal 3) Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai:
a. Produk Tembakau;
b. tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
c. penyelenggaraan;
d. peran serta masyarakat; dan
e. pembinaan dan pengawasan………………………………………………………
  • Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan rokok ke wilayah Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan (Pasal 114 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan). Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa peringatan kesehatan adalah berupa tulisan dan dapat disertai gambar. Pasal ini pernah diuji materiil ke Mahkamah Konstitusi oleh Nurtanto Wisnu Brata beserta sebelas rekannya yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) DPD Jawa Tengah. Dalam putusannya, MK mewajibkan produsen dan importir rokok di Indonesia mencantumkan peringatan kesehatan dalam bentuk gambar, selain bentuk tulisan yang berlaku selama ini. Lebih jauh simak artikel Produsen Rokok Harus Cantumkan Gambar Peringatan.
  • UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
 Dari sekian banyak peraturan perundang-undangan yang dibuat, namun tidak dapat dielakkan fakta peningkatan jumlah perokok di Indonesia terus terjadi setiap tahun. Ketika suatu peraturan dibuat untuk mengatur suatu perbuatan hukum namun perbuatan hukum tersebut justru yang terjadi sebaliknya meningkat, maka diyakini bahwa adanya suatu regulasi kebijakan dalam penerapan peraturan perundangan tersebut tidak berjalan optimal bahkan saling bertentangan. Sebagai optimalisasi penerapan peraturan perundangan tentang rokok kiranya ada baiknya untuk memperhatikan hal-hal berikut;

Perlunya Pengetatan Penjualan Rokok
Dalam banyak undang-undang tidak ada satupun menyatakan atau mengatur secara tegas mengenai pengetatan penjualan rokok ini. Walaupun ada pengaturannya hanya sebatas;  Pasal 25 PP No.109  Tahun 2012 Setiap orang dilarang menjual Produk Tembakau: (a) menggunakan mesin layan diri; (b)kepada anak di bawah usia 18 (delapan belas) tahun; dan (c)kepada perempuan hamil. Penjalan rokok turut dilarang pada Kawasan Tanpa Rokok sebagaimana diatur pada Pasal 50 PP No.109 Tahun 2012. Secara tekhnis undang-undang tidak mengatur bagaimana cara melarang untuk menjual rokok pada golongan masyarakat tersebut. Termasuk juga undang-undang tidak dapat memberikan penjelasan bagaimana pemerintah melakukan pengawasan secara optimal terhadap larangan ini.
Dibalik dilema sosial mengenai rokok ini, jika Negara serius hendak menekan meningkatnya perokok sekaligus dapat mudahkan pengawasan rokok tersebut dengan cara;
1.    Membatasi jumlah produksi rokok dalam periode tertentu pada setiap perusahaan rokok.
2.    Secara serta merta perusahaan rokok akan menyesuaikan harga dengan pembatasan jumlah rokok yang diproduksi.
3.    Menetapkan toko-toko atau agen-agen bertanda khusus yang dapat menjual rokok.
4.    Pembatasan jumlah pembelian rokok, untuk dijual kembali selain berada pada toko-toko ataupun again-agen yang yang telah ditentukan.
Selain sebagai fungsi preventif dan pengawasan terhadap rokok, keempat cara ini sanagta memungkinkan tidak mematikan perusahaan rokok sebagai bagian dari komponen ekonomi nasional.  Begitupun pada perusahaan rokok, peringatan dan gambar pada bungkus rokok hanya memiliki fungsi yang relatif minim terhadap tujuan anti rokok, malah sebaliknya perusahaan rokok seringkali berlindung secara hukum atas tulisan peringatan tersebut. Setidaknya perusahaan rokok harus sensitif terhadap paradigma sosial yang berkembang dimasyarakat. Seketat apapun pembatasan terhadap rokok namun pemerintah tidak mengatur daya paksa secara keseluruhan baik dari produsen, distributor, pedagang, maka yang tampak sesungguhnya perusahaan rokok secara langsung telah mencetak para pecandu rokok.

Kebijakan CSR Rokok Harus dari Hulu Hingga Hilir
Corporate Social Responsibility atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (namun bukan hanya) perusahaan adalah memiliki berbagai bentuk tanggung jawab terhadap seluruh pemangku kepentingannya, yang diantaranya adalah konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Jika ditelaah secara mendalam memang perusahaan rokok di Indonesia sudah menerapkan CSR dalam kebijakan internal perusahaannya, namun tidak ada satupun program CSR perusahaan rokok dapat menyentuh langsung kepentingan perokok yang menjadi konsumennya. Bagi perusahaan rokok; Perokok hanya sebatas konsumen saja, atau sebagai kelompok marginal atas sebuah produk yang dikeluarkan oleh perusahaan. Program CSR yang dibuat oleh perusahaan rokok semata-mata hanya untuk melanggengkan penguasaan atas pasar. Lalu pertanyaannya;  apakah program CSR perusahaan rokok berupa penghijauan, beasiswa, dan sebagainya tidak penting ? Tentu saja program seperti itu sangat penting terlebih untuk jangka panjang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun kenapa harus ragu, jika perusahaan rokok memiliki sistem jaringan kesehatan sendiri selayaknya BPJS pemerintah. Hal itu berarti menghendaki agar perusahaan rokok memiliki data base para perokok atau konsumennya. Dengan memiliki data base dari para perokok, banyak hal yang kemudian dievaluasi termasuk bila adanya suatu program : dalam perbatang yang dibeli dan dikonsumsi konsumen berapa rupiah konsumen telah dijamin kesehatannya, sudah tentu hal tersebut harus didukung serta  membutuhkan suatu program yang kompleks dan teritegrasi politik kebijakan pemerintah.

Dilema Klasik Rokok Yang Tak Pernah Tuntas
Dilema mengenai rokok sesungguhnya sudah sangat klasik bagi masyarakat, disatu sisi harapan Negara mewujudkan kesehatan masyarakat seluas-luasnya sedangkan disisi lain Negara berkewajiban memaksimalkan tumbuhnya perekonomian yang stabil. Memang demikian adanya, penerimaan cukai dalam APBN tahun 2014 sebesar Rp 116,28 triliun, dan nilai ini bukanlah jumlah yang kecil. Patut ditanggapi secara kritis, yang sangat berkontribusi besar secara langsung terhadap tercapainya nilai tersebut tidak lain adalah perokok sendiri yang setiap tahun jumlahnya terus meningkat. Namun dari kondisi tersebut justru menjadi notabena ketika pemerintah setiap tahun meningkatkan target pencapaian pendapatan cukai rokok bagi Negara. Dalam hal-hal inilah para perokok bebar-benar menjadi pecundang dimana mereka harus menghadapi beban kesehatan mereka sendiri dikemudian hari, dan beriring bersamaan juga menjadi obyek pasar atas harapan Negara mendapatkan penerimaan dari cukai rokok seoptimalnya. Jika kondisi ini terus dibiarkan oleh Negara (state neglect), maka dalam kondisi ini Negara sendirilah yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Untuk itu terkait masalah rokok ini, Negara memang harus kembali mengevaluasi system yang ada saat ini agar kepentingan serta kebutuhan para perokok, perusahaan rokok, dan Negara sendiri dapat ternaungi secara arif dan bijaksana.
 -----------------------------------------------------o0o---------------------------------------------------
Quote Prabu : Komunikasikan dengan Solusi, Solusikan dengan Komunikasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar