Total Tayangan Halaman

Selasa, 26 Agustus 2014

SEBUAH IDE MENGKEMAS TAJEN SEBAGAI PARADE BUDAYA



Membaca judul ini saja sudah tentu diantara pembaca merasa heran dengan ide ini, terlebih bagi pembaca yang memiliki keteguhan sikap menolak  Tajen. Sebagaimana diketahui Tajen adalah pertarungan (sabung) ayam dari Bali, telah lama hidup berdampingan dalam kehidupan masyarakat Bali. Bahkan dewasa ini, Tajen seperti dua belah mata uang. Disatu sisi Tajen terus mengakar sebagai salah satu entitas budaya, disisi lain Tajen begitu gencar di berantas oleh karena merupakan bentuk perjudian.

Tajen adalah fenomena yang unik pada masyarakat Bali, saking uniknya banyak sekali akademisi yang mengulas dan membuat penelitian tentang Tajen. Sehingga yang patut di-dinamisasi kemudian budaya yang unik ini patut diselamatkan pelestariannnya termasuk diselamatkan dari akibat hukum yang timbul dari Tajen itu sendiri. Untuk mengkemas Tajen sebagai parade budaya, ini tentu membutukan aksi dari kesadaran publik yang besar pula ditengah pro-kontranya Tajen. Sebagai langkah awal setidaknya ide mengkemas Tajen ini sebagai parade budaya harus didasari dengan sudut pandang positif duhulu. Bukan sepenuhnya bermaksud untuk melegalkan perjudian, namun lebih dari pada itu menengahi konflik kepentingan yang berkepanjangan antar kelompok-kelompok masyarakat disamping kreatifitas menumbuhkan pewarisan budaya positif yang seharusnya meregenerasi.

Tajen adalah perjudian, bagaimana dapat dijadikan parade budaya ?
Perkembangan tajen telah dimulai sejak jaman kerajaan, bahkan semenjak zaman Majapahit. Saat itu memakai istilah menetak gulu ayam. Akhirnya tabuh rah merembet ke Bali yang bermula dari pelarian orang-orang Majapahit, sekitar tahun 1200 (IB Eka Darma Laksana ). Jika dilihat menurut perkembangan sejarahnya Tajennya sediri bukanlah dibentuk sebagai perjudian, melainkan  insersi memotoh/ botoh-nya itulah yang menjerumuskan Tajen sebagai bentuk perjudian. Terlebih oleh para raja di Bali pada abad ke-17 dan ke-18 menggunakan Tajen sebagai alat mengalahkan para petani untuk dijadikan budak bahkan pertaruhan sampai menjadikan anak dan istri mereka sebagai budak untuk dijual kepulau Jawa. (Geertz; 1980:199 dalam Arie Andhiko Ajie)
Tajen berasal dari kata Taji-an yang berarti pertarungan ayam menggunakan Taji atau pisau. Analogi yang mungkin mendekati pemahaman tersebut semisal permainan catur. Permainan catur akan menjadi perjudian apabila diturut sertanya pertaruhan-pertaruhan dengan harapan memperoleh suatu hasil kemenangan. Tentu akan berbeda kasus juga ketika permainan catur tersebut dalam sebuah perlombaan merebut suatu hadiah, hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai judi walaupun harapan memperoleh suatu hasil kemenangan.
Dari beberapa literatur-pun Tajen dapat dibagi menjadi beberapa jenis, diataranya; (1) Tajen Tabuh Rah~ tajen ini dipercaya menjadi kelengkapan upacara di Bali guna terpenuhinya Tabuh(mencecerkan) Rah(darah) sebagai suatu bentuk persembahan dalam kerangka spiritual budaya. (2) Tajen Terang~ yang biasanya dilakukan sebagai alat negosiasi politik antara raja dengan rakyatnya ataupun pada saat penerimaan tamu-tamu kerajaan pada jaman kerajaan. Setelah jaman kerajaan Tajen Terang tetap dilaksanakan sebagai ajang komunikasi para Petajen pemelihara ayam aduan, atau untuk kepentingan penggalian dana suatu wilayah adat serta berdasarkan ijin pemerintah adat setempat.(3) Tajen Baranangan~ memang diselenggarakan khusus untuk bebotoh/ penjudi. Dengan pembagian jenis Tajen ini sementara dapat dikatakan bahwa Tajen juga memiliki positive local genius.

Bagaimana memisahkan judi/botoh dari Tajen ?
Sebagaimana pada pada tulisan sebelumnya mengenai formulasi Pasal 303 KUHP pengertian  judi itu sendiri, diantaranya; (1) permaianan dengan bergantung pada peruntungan belaka, ini dapat diartikan bahwa pemenang dalam permainan karena kepandaiannya, kemahiran, nasib, ataupun kemampuan dengan adanya harapan mendapatkan hadiah/hasil kemenangan berlipat-lipat dari setiap kemenangan yang diperolehnya tanpa adanya pembatasan nilai tertinggi berapa yang harus didapatkan. (2) Juga termasuk terpenuhinya pengertian judi dengan adanya pertaruhan-pertaruran yang terjadi diluar yang terkait pada permainan tersebut. Dari formulasi tersebut agar Tajen dapat lepas dari unsur perjudian yaitu melepaskan harapan atas mendapatkan perutungan belaka. Atau secara sederhana untuk unsur judi tersebut dapat memodifikasi sistem Tajen dengan menentukan batas tertinggi jumlah uang yang beredar seluruhnya dalam setiap penyelenggaraan Tajen. Dapat saja untuk membatasi jumlah nominal uang yang beredar menggunakan media kupon bernilai nominal yang bersifat berlaku internal. Tentunya maksimal uang yang beredar dapam sekali penyelenggaraan Tajen sebesar nominal kupon yang tercetak saja. Untuk mewujudkan itu tentunya ada sebuah lembaga dibentuk kemudian khusus dan secara syah mencetak kupon sehingga dapat terawasi jumlah kupon yang beredar. Tidak cukup sampai disitu pertaruhan-pertaruhan dalam Tajen itupun wajib menggunakan kupon dengan nominal tersebut. Sehingga dengan berjalannya sistem ini diharapkan serupa dengan permainan bursa saham. Walaupun sistem ini kemudian dapat berjalan, memang tidak dapat dipungkiri karakter judi dalam masyarakat Bali akan tetap hidup. Namun paling tidak pengawasan Tajen dalam kapasitasnya dewasa ini sebagai judi liar dapat terfokus serta bersifat  preventif dan pemerintah dapat lebih selektif menentukan secara valid Tajen mana yang legal ataupun illegal.

Lalu dimana sifat kebudayaan Bali-nya?
Setiap budaya yang tumbuh dalam masyarakat tidak pernah berdiri sendiri, selalu ada faktor sebab akibat dan timbal balik sehingga budaya itu kemudian hadir. Begitupun pada Tajen yag sejarahnya dibentuk bukan untuk judi, melainkan untuk ritual upacara dan oleh masyarakat agraris Bali kuno dijadikan sumber hiburan pada masa senggang bercocok tanam. Sehingga demikian dengan tujuan beroriantasi budaya jangan biarkan Tajen melakukan pagelarannya sendiri. Kretifitas ide ini tentunya didukung dengan Tajen harus digelar bersamaan dengan entitas budaya lainnya, semisal; adanya joget bumbung sebelum atau sesudah Tajen diselenggarakan, ataukah dipadankan dengan gegenjekan pada Tajen tersebut ataupun bentuk lainnya. Tentu saja karena Tajen kemudian dipadankan dengan entitas budaya lainnya untuk kemudian juga pakaian ke Tajen menggunakan baju etnis budaya bali yang diseragamkan selayaknya pecalang. Tidak kalah pentingnya juga; berikan dan sediakan Tajen tempat untuk pegelaran yang strategis dengan akses publik, bahkan termasuk dapat diakses oleh kepentingan pariwisata. Bila perlu dinas pariwisata setempat memiliki jadwal kapan dan dimana Tajen akan diselenggarakan. Memang hal ini tidak akan serta merta diterima, tetapi mendaur ulang budaya kemudian nilai manfaat masal bagi pubik adalah bentuk keberhasilan kreatifitas masyarakat melestarikan suatu budaya sambil ber-interpreneur.

Tidakkah Tajen dikenakan pidana penyiksaan hewan ?
Memang sesungguhnya pidana penyiksaan hewan telah diatur dalam pasal 302 KUHP, berbunyi “(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan 1. barang siapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas, dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya; 2. barang siapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak memberi makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan, yang seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada di bawah pengawasannya, atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan sakit lebih dari seminggu, atau cacat atau menderita luka-luka berat lainnya, atau mati, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah, karena penganiayaan hewan. (3) Jika hewan itu milik yang bersalah, maka hewan itu dapat dirampas. (4) Percobaan melakukan kejahatan tersebut tidak dipidana.”
Yang perlu diingat dalam hal ini adalah jika telah ada suatu kesepakatan menjadikan Tajen sebagai pagelaran budaya, pemahaman yang sama semisal; Salah satu yang menjadi daya tarik wisatawan adalah Mapasilaga Tedong, adu kerbau khas  Tana Toraja. Maka secara definitif Tajen dan budaya sejenisnya sendiri tentunya akan terlindungi oleh UUD Negara RI 1945 Pasal 18 B yang berbunyi ; (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Bukan sebagai tujuan pembenaran, bahwa kepercayaan suatu budaya memiliki unsur-unsur persembahan. Sejauh tidak melanggar ketentuan hak asasi manusia, unsur-unsur persembahan turut dilegitimasi oleh negara sebagai kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Lagipula ayam yang digunakan untuk Tajen bukanlah sembarang ayam. Hanya ayam-ayam jantan tebaiklah yang dibawa dan dipertarungkan dalam arena Tajen. Untuk dapat bertarung di arena Tajen ayam harus diperlakukan lebih, baik dari makanannya, perawatannya termasuk kesehatannya. Bahkan ungkapan banyolan di Bali ; bebotoh lebih sayang ayamnya dari pada istrinya.
Namun dengan adanya tameng hukum secara implisit pada pasal 18 B UUD 1945 tersebut, selalu saja ada batasan-batasan yang harus dibuat. Studi kasus dilapangan yang sering terjadi; ketika salah satu petajen kalah dalam Tajen,mungkin karena emosinya membanting ayam aduannya, atau perbuatan mengambil Taji pada ayam cundang (kalah) dengan memotong langsung kaki ayam padahal ayam-ayam itu belum mati. Jenis-jenis perbuatan inilah yang harus benar-benar dihilangkan dari Tajen. Dengan menghilangkan perbuatan-perbuatan seperti itu paling tidak sedikitnya telah memangkas formulasi pasal 302 KUHP tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas. Dalam arti sederhana ; setelah ayam diturunkan pada arena Tajen, biarkan ayam-ayam itu bertarung sebagaimana nalurinya dan mati tanpa campu tangan manusia.


Bagaimana kemudian jika Tajen liar masih berkembang ?
Setelah Tajen itu dilegalisasi sebagai salah satu entitas budaya nantinya, sudah tentu perangkat-perangkat peraturan turut tercipta sebagai daya dukung mengkemas Tajen menjadi lebih ekslusif. Perangkat-perangkat peraturan itulah nantinya yang menjadi sekat antara Tajen yang diijinkan dan tidak diijinkan. Tidak seperti saat ini Tajen sebagai area abu-abu penegakan hukum, nantinya ketegasan aparat lebih akurat dalam memberantas Tajen yang illegal. Tidak dapat menutup mata lagi dan sudah menjadi rahasia umum, dalam beberapa pagelaran Tajen dihitam-putihkan oleh aparat sendiri.
Harapan yang lebih jauh adalah kesadaran masyarakat itu sendiri, ketika melihat budayanya sendiri diakui dalam bentuk legitimasi oleh Negara, maka secara bertahap akan jengah juga masyarakat untuk bertindak diluar budaya yang telah dilegitimasi. Seperti disampaikan diatas, prokontra Tajen ini merupakan persinggungan kepentingan antar kelompok masyarakat. Mengakomodasi seluruh kepentingan masyarakat dengan tetap berkerangkakan hukum merupakan hal ini menjadi suatu kestabilan dan kedinamisan social.

Tapi apakah etis Tajen sebagai parade budaya terlebih di Bali dipandang sebagai kiblatnya Hindu Indonesia ?
Etis tidaknya suatu budaya dilestarikan itu dikembalikan pada paradigma yang berkembang dimasyarakat. Sebaik ataupun seburuk apapun suatu budaya, masyarakat akan tetap mempertahankan sepanjang terkait dengan rasa nyaman masyarakat menjalankan kebudayaan itu dan terakomodasinya kepentingan serta kebutuhan masyarakat tersebut oleh budaya itu sendiri. Masyarakat yang semakin dewasa serta cerdas hukum memang memandang agama sebagai hubungan personal dengan Tuhan. Sedangkan dalam kerangka hukum seutuhnya hanya mengatur hak-hak asasi manusia dalam beragama. Begitupun dalam kehidupan sosial agama hanya melarang suatu perbuatan tetapi dalam kehidupan sosial agama tidak pernah menghukum suatu perbuatan.
Oleh karena itu dengan memperjelas kedudukan Tajen dalam suatu sistem perangkat aturan, khususnya Tajen tersebut dapat dilihat secara terpisah dari entitas agama. Tanpa disadari pihak luar Bali memandang Bali dari segi adat dan budayanya, sangat sedikit pihak luar memandang Bali dari agama Hindu-nya. Dengan demikian  untuk sementara dapat dikatakan inilah misi menyelamatkan budaya Bali dan agama Hindu dengan meng-kotak-kan budaya dengan agama pada kasus-kasus kegiatan sosial yang sifatnya terjadi perang kepentingan (kontaraversial).

Tajen itu membuang tenaga uang dan waktu, tidakkah ada hal lain yang patut diberdayakan ?
Fenomena Tajen ini dalam kehidupan sosial masyarakat Bali seperti bom waktu, setiap saat kembali meledak dan ada saatnya surut. Setiap meledaknya fenomena ini selalu menjadi ajang pertarungan argument. Setiap argument yng dilemparkan pasti dicegal dengan berbagai tanggapan dan aksi. Berangkat dari hal tersebut, Penulis mengeluarkan suatu ide dengan maksud menengahi dan berbagi solusi bilamana fenomena tajen ini kembali meledak. Mengingat ini adalah sebuah ide yang dapat dipandang secara subyektif saja tentunya akan banyak disandingkan dan dibantah dengan ide-ide lainnya yang lebih mutakhir. Dan akhir kata mari solusikan dengan komunikasi untuk kemudian komunikasikan dengan solusi.


Salam Prabu…!


PARADIGMA PATRA BHUMI

Minggu, 24 Agustus 2014

PERTENTANGAN NORMA REALITA ANTARA JUDI VS KUIS DITELEVISI


Suatu ketika Aku mendengar dari televisi suara teriakan yang kompak dari banyak orang; “lanjutkan… lanjutkan. .lanjutkan…” atau terkadang mereka berteriak dengan kompak, “ ga bisa tidur… ga bisa tidur… ga bisa tidur…” Setelah Aku mendekat untuk menonton acara televisi itu secara seksama, ternyata acara tersebut merupakan salah satu kuis disalah satu stasiun televisi swasta. Jika kemudian dapat aku rumuskan, sebenarnya aturan-aturan permaianan kuis itu sangat gampang sekali untuk mendapat hadiah yang luar biasa. Hanya ada dua aturan yang Aku temukan, diataranya; (1) Main Tebak Benar Menang, (2) Tebak Salah Mundur Kalah.

Setelah Aku puas menonton acara itu Aku teringat pada cerita temanku pada sekolah lain saat Aku sekolah menengah pertama. Waktu itu dia bercerita kepadaku kalau hari itu dia dihukum oleh guru BP karena menyelenggarakan kuis didalam kelas saat tidak ada guru. Saat itu aku bertanya pada temanku jenis kuis apa yang dapat dilakukan disekolah. Secara rinci namun sedehana temanku bercerita; jabatannya sebagai ketua kelas sangat mudah untuk temanku memberikan pengarahan terkumpul atau mempengaruhi sebuah ide kepada teman-teman sekelasnya. Setiap diadakan kuis dalam periode disepakati seluruh teman sekelasnya termasuk dia mengumpulkan uang sebesar Rp 2000,- per-orang. Dalam sekali periode kuis yang dilakukan seminggu sekali uang yang terkumpul dari sekitar 40 siswa sebanyak kurang lebih Rp 80.000,-an tentunya itu jumlah yang besar saat itu bagiku mengingat uang sakuku sebasar Rp. 1500,-. Setelah uang terkumpul dan telah diumumkan kepada para peserta jumlah uang dalam periode kuis ini, maka dimulailah kuis dengan berbagai tebakan yang dibuat panitia sebanyak tiga orang yang disepakati bergiliran setiap periode selanjutnya disebut Bandar. Pertanyaan yang dikeluarkan Bandar bersifat dinamis, baik dari tebakan yang tidak penting seperti; salah satu ibu guru tercantik pakai rok wana apa hari ini atau siapa yang menjadi komandan upacara saat hari senin lalu, sampai dengan pertanyaan seputar materi pelajaran yang sudah didapatkan. Setiap minggu dengan sistem gugur melalui jawaban pada sepotong kertas, hanya ada sepuluh orang saja yang disepakati menerima uang kemenangan. Dengan jumlah besar nominal dari masing-masing pemenang di-range-kan sedemikian berturutan dari terbesar sampai terkecil jika ada sisa akan menjadi uang kas kelas dan komisi dari bandar. Atauran tambahan lainnya bahwa pemenang lima besar periode ini, pada satu periode kedepan wajib membayar dua kali uang setoran.
Rupanya permainan itu sangat populeh disekolah temanku itu sampai akhirnya permainan kuis itu sampai juga ketelinga guru-guru karena beberapa kelas mulai ikut-ikutan. Dikhawatirkan hal ini akan menyebar diseluruh kelas, akhirnya temanku dan para ketua kelas lainnya dipanggil guru BP dan wakil kepala sekolah. Dari pembicaraan serius sampai ancaman skorsing diterima saat pemanggilan itu dengn tujuan permainan kuis semacam itu agar dihentikan. Secara serta merta pula pihak sekolah temanku mengeluarkan suatu peraturan yang menyatakan permainan itu dilarang dilakukan disekolah karena permaianan itu adalah bentuk perjudian dan mengganggu kegiatan belajar mengajar.

Setelah Aku mengenal hukum, jika kita telisik pengertian judi berdasarkan pasal 303 angka 3 KUHP berbunyi; Yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya.

Dari uraian pasal tersebut ada beberapa rumusan yang dapat membentuk pengertian  judi itu sendiri, diantaranya; (1) permaianan dengan bergantung pada peruntungan belaka, ini dapat diartikan bahwa pemenang dalam permainan karena kepandaiannya, kemahiran, nasib, ataupun kemampuan dengan adanya harapan mendapatkan hadiah/hasil kemenangan berlipat-lipat dari setiap kemenangan yang diperolehnya tanpa adanya pembatasan nilai tertinggi berapa yang harus didapatkan. (2) Juga termasuk terpenuhinya pengertian judi dengan adanya pertaruhan-pertaruran yang terjadi diluar yang terkait pada permainan tersebut.
Kembali pada kasus permainaan kuis temanku itu secara definitif tidak dapat dikatakan sebagai judi, karena unsur keuntungan belaka tidak terpenuhi mengingat telah adanya pembatasan hasil kemenangan yang akan diperoleh sebesar-besarnya atau maksimal telah sejumlah dana terkumpul yang diumumkan. Sehingga sudah jelas nantinya pemenang mendapatkan hasil kemenangan yang akan diterima TIDAK MUNGKIN lebih besar dari pada dana terkumpul yang sudah diumumkan, walaupun seberapa pintarnya para pemenang nantinya.

Korelasi berikutnya yang dapat dinyatakan bukan sebagai judi adalah para pemain ikut serta langsung dalam permainan bukan mempertaruhkan sesuatu dari luar permainan. Para pemain yang sudah menyetorkan uang saja yang boleh ikut dalam permaianan, hal ini juga dapat menjauhkan jenis permainan kuis oleh temanku itu sebagai judi. Sehingga logika yang terjadi jika kuis temanku itu bukan judi, maka patut kuis itu tidak meminta ijin pada pihak manapun.

Tapi disisi lain dibalik kajianku sendiri pula, aku tidak menyalahkan para guru-guru yang memanggil temanku. Sangat tepat bagiku guru-guru tersebut menghentikan permainan seperti itu, mengingat dampak ketagihan dari permainan tersebut adalah bibit-bibit prilaku judi yng lebih besar lagi, disamping konsentrasi belajar para siswanya terpecah oleh kuis yang diikuti.
Setelah sekian tahun berlalu dari kasus kuis temanku itu dan sekarang aku dan temanku itu sudah mulai dewasa, kontrafakta itupun aku temukan.  Banyak sekali kuis-kuis ditayangkan oleh televisi, bahkan melibatkan peserta secara masal dengan aksesoris kian hari-kian aneh. Beberapa dari banyak kuis televisi memperebutkan hadiah-hadiah yang nilainya tidak terukur ataupun tidak ditentukan batar nilai atasnya. Ada juga audisi- audisi yang membukan dukungan sms dari penonton televisi kepada peserta audisi, yang terkadang dukungan sms itu diberikan suatu harapan mendapatkan dor prize. Jam tayang kuis-kuis itupun ditayangkan saat jam dimana anak-anak umumnya masih dapat menonton bersama keluarga.
Disinilah perdebatan logikaku mulai muncul kembali, diatara perdebatan logika itu kemudian ada beberapa pertanyaan yang mengusik benakku; mungkin itu benar bukanlah “judi” karena nama ditelevisi adalah “kuis” ? karena kalau namanya judi pastilah itu sudah sangat jelas sebagai kejahatan sebagaimana ketentuan pasal 1 Undang-Undang. No.7 Tahun 1974.

Mungkin bisa jadi juga kuis-kuis ditelevisi ini telah mendapatkan ijin dari pemerintah untuk menawarkan atau memberi kesempatan kepada publik untuk ikut bermain. Karena tdak bias dipungkiri Ketentua Pasal 303 KUHP jo Pasal 303 bis (1) 2 yang secara eksplisit dinyatakan Perjudian itu dilarang terkecuali ada ijin. Namun hal ini sangat nota bena sekali terhadap realita dilapangan jangankan mendapat ijin untuk mendirikan kasino mendapatkan perlawanan dari berbagai pihak, ijin penyelenggaraan judi dikampung saja hampir mustahil secara legal.
Seperti halnya Tajen (sabung ayam di Bali), yang sering sekali menjadi gesekan kepentingan antara panitia penyelenggara tajen dengan aparat. Disatu sisi Tajen digelar dengan dalih entitas budaya, namun tetap saja susah untuk mendapatkan ijin penyelenggaraan, sedangkan disisi lain aparat bertindak karena judi adalah suatu kejahatan serta diselenggarakan tanpa ada ijin. Ditambah lagi aparat selalu membumbui penolakan atas penyelenggaraan Tajen dengan dasar kecurigaan mengggangu ketertiban umum.

Inilah selanjutnya Aku maksudkan sebagai tumpang tindih dalam dunia hukum Indonesia. Namun dibalik tumpang tindih hukum ini yang patut disadari bahwa perangkat hukum yang mendefinisikan judi itu sendiri haruslah diatur kembali sebagaimana perkembangan jaman, sehingga tidak menimbulkan kecumburuan sosial antar kelompok masyarakat. Jagan sampai menjadi slogan yang menggenerasi; semakin diatur semakin tidak teratur.

Salam Prabu…!

PARADIGMA PATRA BHUMI

PARADIGMA PATRA BHUMI (SALULUNG SABAYANTAKA, PARAS PAROS SARPANAYA)


Beiring kalimat salam slogan pemersatu berasal dari daerah Bali yang menggambarkan perasaan senasib sepenanggungan berkerangkap rinsip-prinsip demokrasi yang penuh toleransi. Dengan penuh semangat ikut serta urun rembug sosial yang dinamis, dan dengan penuh kerendahan hati pula Penulis memperkenalkan suatu wadah komunikasi yang penulis namai sebagai Paradigma Patra Bhumi.

Dinamika masyarakat yang selalu berjalan dinamis menyebab banyaknya fenomena-fenomena masalah sosial yang timbul saling bertautan, bahkan cendrung aneh, unik ataupun kontraversial.  Terbentuknya masyarakat dengan berbagai lapisan strata, maka secara serta merta pula memerlukan peraturan-peraturan ataupun kebijakan-kebijakan untuk mengatur berbagai kepentingan antar personal. Kepentingan-kepentingan antar personal bilamana kemudian saling bergesekan turut menimbulkan permasalahan sosial baru bahkan berefek domino. Berangkat dari hal tersebutlah Penulis mewujudkan kreatifitasnya melalui olah logika, menggali pemahaman, mengkritisi, berdiskusi, menganalisa, ataupun bentuk-bentuk lainnya dalam upaya mengolah suatu informasi dalam Paradigma Patra Bhumi.

Sebagai wadah komunikasi baru tentunya akan banyak pertanyaan mengenai mengapa Penulis memberi nama wadah komunikasi ini dengan nama Paradigma Patra Bumi. Atau mungkin dari beberapa Pembaca akan bertanya apa arti nama wadah komunikasi ini. Bahkan mungkin juga kemana arah komunikasi wadah ini. Maka, untuk mengenal lebih jauh atas Paradigma Patra Bhumi perlu penulis uraikan dari masing-masing kata-kata pembentuknya yaitu Paradigma, Patra, dan Bhumi.

Paradigma ~ Kata paradigma sendiri berasal dari abad pertengahan di Inggris yang merupakan kata serapan dari bahasa Latin ditahun 1483 yaitu paradigma yang berarti suatu model atau pola; bahasa Yunani paradeigma (para+deiknunai) yang berarti untuk "membandingkan", "bersebelahan" (para) dan memperlihatkan (deik). Arti Paradigma secara definitive sendiri banyak Penulis temukan terlebih ketika menjelajah internet, dan mungkin beberapa dapat dijadikan pegangan pengertian;

Istilah paradigama ilmu pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn melalui bukunya yang berjudul “The Structur of Science Revolution”. Kuhn menjelaskan paradigma dalam dua pengertian. Di satu pihak paradigma berarti keselurahan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik yang dimiliki bersama oleh anggota masyarakat ilmiah tertentu. Di pihak lain paradigma menunjukkan sejenis unsur pemecahan teka-teki yang konkrit yang jika digunakan sebagai model, pola atau contoh dapat menggantikan kaidah-kaidah yang secara eksplisit sebagai atau menjadi dasar bagi pemecahan permasalahan dan teka-teki normal sains yang belum tuntas.

Menurut Kamu Besar bahasa Indonesia Paradigma diartikan; (1) Ling daftar semua bentukan dr sebuah kata yang memperlihatkan konjugasi dan deklinasi kata tsb; (2) model dalam teori ilmu pengetahuan; (3) kerangka berpikir.

Pada penjelasan-penjelasan lainnya paradigm diartikan sebagai berikut :
Pengertian paradigma menurut Patton(1975) : “A world view, a general perspective, a way of  breaking down of the complexity of the real world”(suatu pandangan dunia, suatu cara pandang umum, atau suatu cara untuk menguraikan kompleksitas dunia nyata).

Pengertian paradigma menurut Robert Friedrichs(1970) : Suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari.

Paradigma dalam disiplin intelektual adalah cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang di terapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama, khususnya, dalam disiplin intelektual.

Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk citra subjektif seseorang – mengenai realita – dan akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita itu.

Patra ~ Pengertian Patra sendiri secara harfiah diartikan Pantas (sansekerta), Kondisi atau keadaan (bali), bahkan beberapa padanan kata Patra diartikan suatu motif-motif gambar etnik (contoh; Patra Cina)

Bhumi ~ Dalam bahasa Inggris modern, kata benda earth dikembangkan dari kata bahasa Inggris Pertengahan erthe (dicatat pada 1137), yang berasal dari kata bahasa Inggris Kuno eorthe (sebelum 725), sedangkan kata itu sendiri berasal dari kata Proto-Jermanik *erthō. Earth memiliki kata kerabat pada semua bahasa Jermanik lainnya, termasuk aarde dalam bahasa Belanda, Erde dalam bahasa Jerman, dan jord dalam bahasa Swedia, Denmark, dan Norwegia. [30] Earth adalah perumpamaan untuk dewi paganisme Jermanik (atau Jörð dalam mitologi Norse, ibu dari dewa Thor)

Dalam bahasa Indonesia, kata bumi berasal dari bahasa Sanskerta bhumi, yang berarti tanah, dan selalu ditulis dengan huruf kapital ("Bumi"), untuk merujuk pada planet Bumi, sementara "bumi" dengan huruf kecil merujuk pada permukaan dunia, atau tanah. (Wikipedia)

Setelah menemukan arti masing-masing kata pembentuk Paradigma Patra Bhumi, saatnya Penulis menarik kesimpulan dengan mendekorasi kata-kata tersebut, sehingga secara sepihak Penulis mengartikan sebagai; ~ suatu cara pandang yang dibentuk oleh kerangka berpikir secara ilmiah dalam bentuk pencitraan subjektif, untuk menguraikan suatu nilai-nilai terhadap pertentangan ataupun perbandingan dalam realitas keadaan-keadaan yang terjadi dalam  kehidupan bermasyarakat.

Dari kesimpulan tersebut dapat Penulis arahkan bahwa wadah komunikasi ini bersifat dinamis mengangkat realitas-realitas permasalahan dalam masyarakat yang selanjutnya dapat diolah kembali sebagai paparan informasi publik guna membangun pemahaman positif publik yang lebih luas. Dalam artian sederhana Penulis mengajak agar kita semua mampu melihat dan menganalisa masalah-masalah dalam masyarakat, walaupun tidak ikut serta secara langsung melakukan dalam aksi pemecahan, namun setidaknya wadah komunikasi ini dapat memberikan suatu pandangan-pandangan berguna dan positif sebagai sumbangsih membangun bangsa dari opini-opini publik secara vertical.  

Sekiranya demikian perkenalan awal atas wadah komunikasi ini sebagai blog baru. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Mohon  maaf bilamana ada yang kurang berkenan. Atas segala pasrtisipasi dan sumbangsihnya Penulis ucapkan Terima Kasih.

Salam Prabu…!

PARADIGMA PATRA BHUMI