Total Tayangan Halaman

Kamis, 18 September 2014

IBARAT NEGARA ADALAH SEUNIT MOTOR [UU MD3 & UU PILKADA ADALAH BENTUK OVER PERKUATAN PARLEMEN YANG DAPAT MELEMAHKAN PRINSIP DEMOKRASI]



Organisasi negara tidak begitu jauh jika diasumsikan dengan sebuah rangkaian unit kendaraan bermotor. Selayaknya satu unit motor, negara menempatkan Legislatif sebagai mesin utamanya, Eksekutif sebagai roda hingga rangka dan stang kemudinya, sedangkan Yudikatif ditempatkan sebagai rem-nya. Semua bagian dari kendaraan tersebut tidak ada yang tidak penting dalam upaya mengoperasikan unit motor tersebut. Misalkan saja unit motor tersebut tidak ada rangka, roda dan stang kemudi, tentu tidak mungkin ada tempat rem berpijak ataupun tidak mungkin juga mesin dapat dapat melaju ketempat yang dikehendaki. Begitupun rangka, roda dan stang serta rem tidak akan berfungsi sempurna ketika tidak ada mesin penggeraknya. Senada dengan kasus itu juga, jika unit motor telah lengkap namun tanpa dilengkapi dengan rem,  maka tentunya melajukan kendaraan akan perlu kelihaian dan kewaspadaan yang sangat tinggi agar tidak terjadi kecelakaan yang menyebabkan semua rangkaian unit tidak berfungsi. Satu kesatuan rangkaian badan-badan negara tersebut, itulah yang disebut sebagai Trias Politika.

Teori Trias politika ini diciptakan sebagai fungsi chek & balance  dan mengatur hubungan antar kekuasaan lembaga negara dalam menjalankan pemerintahan. Indonesia sendiri menerapkan Trias Politika sebagai pembagian kekuasaan (devide of power) bukan sebagai pemisahan kekuasaan (sparation of power). Sehingga untuk menjalankan fungsi dan peranannya lembaga-lembaga negara ini diberikan kekuasaan yang setara serta tidak ada satupun yang bersifat superior terhadap lembaga negara lainnya. Dalam artian bahwa dalam hal pembagian kekuasaan jika diberikan Perkuatan Legitimasi kepada salah satu Lembaga Negara ini dikhawatirkan akan menyebabkan konflik negatif kepentingan dalam pemerintahan itu sendiri.

Dengan adanya Revisi UU MD3 dan, sesungguhnya merupakan suatu sifat Perkuatan Parlemen (legislatif/DPR) sebelum lembaga Negara lainnya menjalankan fungsi dan peranannya. Perkuatan Parlemen berarti menambahkan sifat superiornya Parlemen terhadap Lembaga Negara lainnya seperti Eksekutif, Yudikatif, termasuk aparat penegak hukum. Ketimpangan kekuasaan ini tentunya pastinya juga akan menghambat fungsi dan peran Lembaga Negara lainnya. Hal-hal yang mendasar dalam UU MD3 yang menyebabkan Perkuatan Parlemen diantaranya adalah;

  1. Dalam pasal 80 hak anggota DPR mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan, hak ini dapat diartikan sempit oleh anggota DPR jika tanpa prosedur yang jelas. Seiring dengan maksud tersebut, hal ini menjadi ambigu/kekaburan norma ketika Anggota DPR berkewajiban menempatkan diri mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan. Indikasi yang kemungkinan dapat terjadi adalah dalih-dalih Anggota DPR menjalankan pencitraan pribadi bertamengkan uang negara. 
  2.  Hak imunitas yang berlebihan (pasal 224) diantaranya anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana dalam kapasitas tugas dan wewenangnya tidak dapat dipanggil dan diminta keterangan sebelum mendapat persetujuan tertulis dari Majelis Kehormatan Dewan (MKD). Hal ini tentu sangat bertentangan dengan prinsip equality before the law dan mengesampingkan sifat hukum pidana sendiri sebagai hukum materiil (kebenaran absolut). Terlebih prasangka hukum atas kesempatan untuk dapat menghilangkan alat bukti ataupun melarikan diri serta merta menjadi kesempatan yang dapat digunakan seluas-luasnya. 
  3.  Masih dalam pasal 224, MKD berubah menjadi aparat penegak hukum sekaligus memiliki fungsi yudikatif dengan tidak memberikan persetujuan pemanggilan terhadap Anggota DPR yang diduga yang diduga melakukan tindak pidana dalam kapasitas tugas dan wewenangnya menyebabkan pemanggilan tersebut menjadi batal demi hukum. Yang menjadi permasalahan hukum adalah keputusan subyektif dari MKD dapat dijadikan suatu konspirasi sebagai penggelapan hukum.   Hapusnya kewajiban DPR melaporkan pengelolaan anggaran kepada publik dalam laporan kinerja tahunan (Pasal 73 angka 5 UU 27 2009) dan dihapusnya Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) (Pasal 110 UU 27 2009). Dua pasal ini semakin menyangsikan masyarakat bahwa DPR akan berlaku transparan terhadap keuangan negara. Padahal dengan adanya publik dan BAKN adalah indikator pengawasan terhadap kinerja DPR.
Bentuk-bentuk Perkuatan Parlemen seperti inilah semakin meningkatkan mosi tidak percaya publik terhada Parlemen/DPR. Sehingga sementara patut dibenarkan adanya kelompok-kelompok masyarakat yang kontra dengan undang-undang ini.Yang seharusnya publik merasa diayomi hak-haknya dan partisipasi politiknya, namun sebaliknya justru publiklah yang mengayomi dan menjadi korban kepentingan-kepentingan Anggota DPR.

Belum lagi selesai persoalan UUMD3, publik kembali berpikir dengan sikap pro dan kontra terhadap Rancangan UU Pilkada. Pro kotra yang terjadi dalam publik adalah setuju dan tidaknya Kepala daerah dipilih langsung. Seluruh perdebatan yang terjadi terhadap Pemilihan kepala daerah masing-masing memunculkan suatu kebenaran-kebenaran yang faktual ataupun secara konstitusional. Namun demikian harapan kesetabilan politik dalam negri Indonesia seidealnya jangan sampai kembali terjadi Perkuatan salah satu Lembaga Negara. Diluar sikap dukung-mendukung antar koalisi partai, setidaknya ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian yang sangat serius ketika undang-undang ini diterapkan atau tidak. Sehingga korelasi-korelasi teori hukum ini setidaknya memberi pandangan bagaimana sebaiknya pemilihan kepala daerah, diantaranya;

  1. Presiden, Gubernur, dan Bupati adalah lembaga negara/jabatan yang memegang fungsi dan peran Eksekutif. Secara struktur Gubenur adalah perpanjangan tangan dari Presiden, dan Bupati adalah perpanjangan tangan dari Gubernur. Sehingga dalam struktur vertikal Eksekutif,seluruh jabatan-jabatan tersebut idealnya memiliki visi & misi yang sama serta saling mendukung kebijakan yang dijalankan. Jika antar jabatan dalam Eksekutif saling berbeda misi dan visi tentunya tidak akan terjadi pemerataan berlakunya kebijakan negara. 
  2. DPR & DPRD adalah lembaga Legislatif negara, yang tidak diberikan fungsi dan peran sebagai Eksekutif (eksekutor). Dalam artian bahwa; memberikan DPR memilih Kepala Daerah berarti DPR dapat menjelma sebagai eksekutor. 
  3.  Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum Indonesia. Jika mutlak dan secara sempit menerapkan Sila Ke-4 Pancasila, bahkan semua bentuk Pemilu di Indonesia seharusnya tidak dapat dilaksanakan sebelum dilakukannya musyawarah. Karena Sila Ke-4 menghendaki seluruh keputusan didasari musyawarah yang menghasilkan mufakat. Yang berarti Pemilihan Kepala Pemerintahan terlebih dahulu dilakukan melalui kesepakatan politik yang mufakat dan tidak ada pengesampingan terhadap suara minoritas sekecil apapun. Baru setelah musyawarah tidak menemukan mufakat selanjut dilakukan pemungutan suara (one man one vote). 
  4.  Kenisbian kehidupan bernegara bahwa; kelompok publik yang memilih mendudukan seorang anggota parlemen, pasti belum tentu kemudian memiliki pendapat, pandangan ataupun sikap yang sama atas kebijakan dan keputusan dari anggota parlemen tersebut. Ketika hal ini terjadi, maka sebagaimana maksud Sila Ke-4 suara publik tersebut harus diperhitungkan dalam suatu musyawarah yang mufakat. Ketika tidak-pun menemukan mufakat dari publik tersebut, maka sudah tentunya ditentukan dengan pemungutan suara juga. 
  5. 10 Catatan/syarat Perbaikan dari Demokrat untuk RUU Pilkada (Tribunnews, 19/9/2014). Sesungguhnya 10 syarat yang di ajukan SBY, lebih tepat untuk memperbaiki undang-undang partai. Dengan baiknya fungsi rekrutment dan regulasi kebijakan internal partai pastinya membawa dampak calon-calon pejabat pemerintahan yang diajukan terseleksi lebih baik dan berkompeten.  
  6. Demokrasi memang mahal Bung…!(red) Mahalnya demokrasi bukan karena berapa besar uang negara yang keluar, tapi kepuasan rakyat ikut berpesta demokrasi dan menikmati hak-haknya sebagai warga negara sebagai hasil dari pesta demokrasi itu yang lebih mahal.

Jika dapat ditarik kesimpulan dari apa yang telah diuraikan diatas; janganlah menjadikan konstitusi sebagai tameng kepentingan guna Perkuatan Lembaga Negara. Harapan diciptakan konstitusi dalam kerangka Trias politika adalah untuk terjadi perkuatan daya atur pemerintah dalam arti luas dan negara baik kedalam maupun keluar. Sangat tepat Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum dalam kehidupan bernegara selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), budaya hukum (legal culture). Maka semakin dewasa Negara politik Indonesia saat ini, haruslah beriring dengan tumbuhnya karakter membangun negara dari seluruh elemen-elemen negara.

 Salam PRABU : Solusikan dengan Komunikasi, Komunikasikan dengan Solusi

Sabtu, 06 September 2014

PLURALISME SEMU BAGI MINORITAS




Pendahuluan

Dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia oleh the founding father Soekarno-Hatta dengan mengatasnamakan bangsa Indonesia, maka sejarah Indonesia telah mencatat momentumnya bahwa Indonesia secara de facto merdeka sejak 17 Agustus 1945. Arti penting proklamasi tersebut dapat dipahami seluas-luasnya dalam kebebasan menentukan nasib Negara itu sendiri setelah terlepas dari belenggu penjajah. Proklamasi sebagai momentum sejarah Indonesia yang sakral, sesungguhnya telah dipikirkan secara matang dan terkonsep oleh pendiri Indonesia dengan berorientasi  pada masa depan kelangsungan kehidupan Indonesia dalam konteks berbangsa dan bernegara. Ini dibuktikan sebagaimana tertulis dalam teks proklamasi, berbunyi : “…kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya…” oleh para pendiri bangsa dengan pemikiran yang cerdas dan menginginkan suatu cita-cita luhur seutuhnya secara sadar telah mendahulukan kemerdekaan “bangsa”(nation) bukan kemerdekaan “negara”(state). Pemahaman yang dapat dimengerti dari kemerdekaan bangsa adalah suatu sikap untuk memerdekakan ikatan budaya yang telah hidup dalam masyarakat Indonesia dan perasaan persamaan nasib sebagai ikatan sejarah. Baru setelah bangsa Indonesia merdeka, disusul kemudian dengan kemerdekaan Negara Indonesia. Momentum kemerdekaan Negara Indonesia diartikan sebagai kemerdekaan suatu organisasi pemerintah dan hukum, baru setelah  pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945, dan dikuatkan dengan tercapainya persetujuan KMB tanggal 2 November 1949 bahwa Belanda mengakui RIS sebagai negara yang merdeka dan berdaulat selambat-lambatnya pada tanggal 30 Desember 1949.
Pemahaman diatas sangatlah penting untuk diketahui terlebih ketika membahas pluralisme di Indonesia. Terlebih lagi penghargaan terhadap pluralisme di Indonesia menghadapi masa-masa kritis akibat banyaknya terjadi sentimen-sentimen pribadi antar kelompok sosial. Yang patut disadari bahwa pluralisme yang terbentuk di Indonesia sangat kompleks baik secara stratifikasi sosial(vertikal) maupun differensiasi sosial (horizontal), dan seluruh bentuk pluralisme yang terjadi telah diatur dalam perangkat peraturan undang-undang. Namun paradigma yang terjadi di masyarakat pluralisme saat ini sedang disamarkan oleh fanatisme dari kelompok-kelompok tertentu. Terkadang pelecehan terhadap pluralisme sendiri dilakukan dengan ancaman-ancaman terbuka terhadap publik yang sangat ironis dengan kosep Bhineka Tunggal Ika. Dari hal tersebut, tulisan ini mencoba menguraikan mengkaji secara beberapa hal-hal yang terjadi terkait pluralisme itu sendiri.

Kontraversi Bali Melarang Jilbab

Kontraversi ini terjadi pertama kali adanya pelarangan penggunaan jilbab di salah satu SMA Negeri di Bali. Kemudian disusul terbitnya tulisan Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa III,SE (MTRU), M.Si ."Saya kecam kebijakan manajemen Jalan Tol Bali yg menerapkan aturan petugas jalan toll memakai jilbab dan peci selama Ramadhan. Hal ini sudah menjadi kontroversi dan meresahkan. Ini Bali Bung !!! The Island Of A Thousand Temple NOT The Land Of Arab / Qurawa. Kalau tdk sanggup hormati budaya Bali, silahkan keluar pulau ! Sy dukung petisi ganti pejabat kearab2an. Lawan gerakan syariah di Bali ! (Dr.W)," tulis Arya Wedakarna dalam akun Facebooknya yang dikutip merdeka.com, Kamis (17/7).
Konteks pelarangan jilbab di Bali dipandang oleh beberapa kelompok element masyarakat sebagai pelecehan suatu agama tertentu, tidak dapat sepenuhnya dikatakan benar. Jika secara jujur mau dilakukan penelitian mendalam pada saat kejadian itu, tidak saja pada lokasi jalan tol di Bali bahkan pada beberapa perusahaan swasta di Bali, dapat ditemukan beberapa kebijakan perusahaan tersebut menganjurkan menggunakan jilbab. Dampak kebijakan tersebut secara psikologis bagi umat non-muslim tentunya akan memaksakan diri mengikuti anjuran kebijakan tersebut selama berada dalam instansi-instansi tersebut. meskipun dalam beberapa media menyampaikan bahwa kebijakan tersebut merupakan suatu anjuran, namun dalam realitasnya anjuran dari pejabat yang berwenang dalam instansi-instansi tersebut setidaknya memiliki harapan agar jabatan dibawahnya mengikuti kebijakan yang ada. Harapan inilah yang kemudian tidak dapat dihindarkan menjadi suatu perintah baik berbentuk lisan ataupun dalam bentuk pola komunikasi lainnya sebagai daya paksa internal dalam instansi. Padahal secara ekslusif pemerintah memberikan jenis-jenis instansi dengan kekhususannya, semisal sekolah madrasah sudah tentu memiliki aturan internal sendiri yang berbeda dengan sekolah umum.Kebijakan-kebijakan yang mengadopsi menggunakan aksesoris-aksesoris agama(bukan budaya) pada area-area publik diluar yang dikhususkan, hal inilah yang sesungguhnya sebagai sikap anti pluralisme yang tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Yang patut disadari dan tak dapat dielakkan bahwa ada sekat yang sangat tipis antara rasa ikut serta menghormati suatu agama dengan kebijakan menyeragamkan suatu sudut pandang dari suatu agama. Tidak ada suatu tolak ukur yang dapat memisahkan dua hal tersebut kecuali meninggkatnya sensitifitas masing-masing kelompok agama. Sehingga yang sering menjadi perdebatan dipublik adalah pembenaran HAM-nya masing-masing dan masing-masing pula saling merasa dilecehkan. Negara Republik Indonesia menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sila pertama, hal ini menunjukan bahwa negara melindungi dan mengakui agama berikut entitas didalamnya bukan memerintah berdasarkan hukum agama (sekuler). Dalam hal inilah negara harus berdiri sebagai organisasi kekuasaan yang dapat mengatur kebijakan-kebijakan instansi publik dibawah naungannya agar tidak menjadi tumpang tindih serta konflik kepentingan. Pada pengertian lain negara harus mampu memilah  mana yang harus diseragamkan mana yang akan menimbulkan kesenjangan dan konflik sosial. Tentu saja akan menjadi dinamika yang aneh untuk negara jika semua pemeluk agama diberikan kebebasan untuk berlomba mengeksplorasi aksesesoris keagamaan masing-masing pada instansi-instansi publik. Dan mungkin akan merasa tidak adil juga bagi  agama lainnya  jika suatu agama saja yang diberikan kebebasan untuk mengekplorasi aksesorisnya pada instansi-instansi publik. Dilema ini akan terus ketika berlarut pemerintah tidak dapat mengkotakkan  antara budaya dengan agama secara proporsional sebagai dinamisnya pekembangan masyarakat.
Konteks pelarangan jilbab di Bali jika dibenturkan dengan konsep Hak Asasi Manusia, tentunya ini akan menjadi notabena fakta terhadap apa yang terjadi pada Daerah Istimewa Aceh. DI Aceh secara istimewa diberikan otonomi khusus dalam untuk mengatur corak ragam budayanya sendiri bahkan DI Aceh secara preventif dapat dan memiliki kewenangan untuk memproteksi dari ancaman terhadap budayanya. Bahkan banyak kajian akademis mengenai syariat di Aceh signifikan membenarkan atas telah tercerminkannya  Pasal 18 B Amandemen Kedua UUD 1945.Tentunya akan menjadi perdebatan yang alot secara nasional jika Bali meminta atau diberikan otonomi seperti di Aceh. Disinilah terlihat tidak strategisnya fungsi pemerintah memecahkan permasalahan sosial dalam masyarakat ditambah in-konsistennya antar peraturan perundangan yang ada serta berbanding lurus dengan sentimen-sentimen pribadi yang sengaja didoktrinkan oleh elemen kelompok masyarakat tertentu.

Kontraversi Bank Syariah

Suatu kesempatan Dr.Hj.Henri Saparini pengamat ekonomi dalam dialog kebangsaan mahasiswa di Bogor 2008, mengatakan bahwa; Sistem Ekonomi syariah adalah satu sistem ekonomi diantara banyak sistem ekonomi yang ada didunia, maka sistem ekonomi syariah ini bukan lagi milik umat Islam saja. Pendapat itu memang benar, namun hal itu menjadikan sudut pandang yang sempit dari kehidupan bernegara. Hal yang perlu diingat bahwa negara tidak terbentuk dari kekuatan bidang ekonomi saja. Bidang politik, hukum, maupun budaya adalah bidang-bidang yang memperkuat stabilitas kehidupan bernegara serta tidak dapat dipisahkan dari satu dengan lainnya. Jika sistem Syariat itu merasa penting dan berguna bagi masyarakat Indonesia maka seharusnya sistem tersebut harus dinasionalisasi oleh pemerintah sehingga karakter eksklusif peristilahan bagi suatu agama tidak tercantum dalam sistem ekonomi tersebut. Stigma masyarakat yang multi kultur dan religi belum mampu menerima secara dewasa mengenai peristilahan seperti ini, baik itu umat agama yang dipakai entitas keagamaannya akan merasa superior ataupun umat agama lainnya akan memiliki sudut pandang menjadi pihak diluar dari pada sistem.
Dari perdebatan-perdebatan yang terjadi pada publik, jika dicermati lebih dalam sebenarnya bukan masalah entitas-entitas ekonomi yang ada dalam sistem syariah tersebut. Sudut pandang sosial, budaya, serta religi yang terjadi dalam peristilahannya adalah hal yang sangat sensitif bagi sekelompok masyarakat. Tidak dapat disalahkan juga dalam masyarakat majemuk, jika ada beberapa pendapat ; sistem bunga diganti dengan bagi hasil mungkin masih dapat diterima umum, tapi bagaimana dengan yang umat lainnya yang tidak pernah mengenal pemahaman dan kata “wajib zakat”. Dari petikan penyataan itu sebenarnya ada sikap pesimistis yang terjadi dalam suatu kelompok sosial masyarakat dalam memandang suatu sistem ekonomi yang telah turut dicanangkan oleh pemerintah. Sebagaimana pidato Presiden tanggal 17 November 2013 Pencanangan Gerakan Ekonomi Syariah (Gres !), sebenarnya memiliki dualisme pemahaman. Pemahaman pertama; ketidakpahaman pemerintah sendiri mengenai syariah, karena dengan meng-insersi syariah sepenuhnya pada semua lini dalam kehidupan bernegara, ini berarti menghilangkan sifat eksklusifnya dari dasar-dasar mengapa sistem tersebut diciptakan/dijalankan. Sebagai sebuah sistem ekonomi, Syariah sendiri mempunyai batasan-batasan yang bersifat religius yang suatu saat akan berbenturan dengan sektor-sektor ekonomi yang telah lama ada dan tidak dapat dimasukkan pada ranah syariah. Pemahaman Kedua ; Pemerintah memang mengerti Syariah, karena melihat adanya suatu peluang untuk mengkemas suatu ideologi atau sebuah konspirasi dalam bentuk komunikasi politik dan sosial. Pemahaman inilah sesungguhnya menjadi suatu konspirasi yang melemahkan rasa nasionalisme sebagai warga negara Indonesia.

Penutup

Seperti kata Bung Karno; jangan sekali-kali melupakan sejarah. Memang harus dipahami bersama sebagai bentuk kebhinekaan Indonesia, walaupun kontraversi Piagam Jakarta masih menjadi perdebatan sengit antar kelompok masyarakat. Nilai positif yang dapat diambil dari pristiwa Piagam Jakarta adalah; Jika tokoh-tokoh yang terlibat dalam pembuatan Piagam Jakarta notabena mayoritas islam tidak menghargai keberagaman yang ada di Indonesia, mungkin segala pendapat, dalil, politik ataupun konspirasi yang diajukan oleh wakil-wakil dari Indonesia Timur pada saat itu (diataranya sam Ratu Langi & Mr.Ketut Pudja), maka tokoh-tokoh tersebut dengan segala cara dan upaya  menegakkan dan mempertahankan Piagam Jakarta, dan bahkan mungkin pada saat itu juga dengan sengaja dan rela melepaskan Indonesia sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan dimasukkannya Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945, paradigma sekelompok masyarakat menyalahartikan Piagam Jakarta sebagai bentuk negara menuju sekuler adalah suatu kesalahan besar. Pengamalan Piagam Jakarta seutuhnya dengan konsep “menjalankan syariat bagi para pemeluk-pemeluknya”  konstitusi dan negara harus mampu memisahkan yang mana pemeluk Islam dan yang mana bukan pemeluk Islam. Termasuk negara juga harus mampu memisahkan mana hal yang namanya pemerintah, negara, dan agama Islam. Dalam pengertian lain bahwa pemeluk suatu agama adalah orang bukan instansi ataupun organisasi, sehingga bagi bukan pemeluk Syariat tidak dapat diwajibkan ataupun dipaksa mengikuti kebijakan ataupun aturan-aturan yang ditetapkan oleh syariat. Namun kembali lagi akan menjadi pertentangan paradigma sosial dalam masyarakat ketika pemerintah menegaskan sekat-sekat yang mekotakkan masyarakat, mengingat bukan hal itulah yang diharapkan untuk ajegnya Bhineka Tunggal Ika.


Salam Prabu : Solusikan dengan Komunikasi, Komunikasikan dengan Solusi


Selasa, 26 Agustus 2014

SEBUAH IDE MENGKEMAS TAJEN SEBAGAI PARADE BUDAYA



Membaca judul ini saja sudah tentu diantara pembaca merasa heran dengan ide ini, terlebih bagi pembaca yang memiliki keteguhan sikap menolak  Tajen. Sebagaimana diketahui Tajen adalah pertarungan (sabung) ayam dari Bali, telah lama hidup berdampingan dalam kehidupan masyarakat Bali. Bahkan dewasa ini, Tajen seperti dua belah mata uang. Disatu sisi Tajen terus mengakar sebagai salah satu entitas budaya, disisi lain Tajen begitu gencar di berantas oleh karena merupakan bentuk perjudian.

Tajen adalah fenomena yang unik pada masyarakat Bali, saking uniknya banyak sekali akademisi yang mengulas dan membuat penelitian tentang Tajen. Sehingga yang patut di-dinamisasi kemudian budaya yang unik ini patut diselamatkan pelestariannnya termasuk diselamatkan dari akibat hukum yang timbul dari Tajen itu sendiri. Untuk mengkemas Tajen sebagai parade budaya, ini tentu membutukan aksi dari kesadaran publik yang besar pula ditengah pro-kontranya Tajen. Sebagai langkah awal setidaknya ide mengkemas Tajen ini sebagai parade budaya harus didasari dengan sudut pandang positif duhulu. Bukan sepenuhnya bermaksud untuk melegalkan perjudian, namun lebih dari pada itu menengahi konflik kepentingan yang berkepanjangan antar kelompok-kelompok masyarakat disamping kreatifitas menumbuhkan pewarisan budaya positif yang seharusnya meregenerasi.

Tajen adalah perjudian, bagaimana dapat dijadikan parade budaya ?
Perkembangan tajen telah dimulai sejak jaman kerajaan, bahkan semenjak zaman Majapahit. Saat itu memakai istilah menetak gulu ayam. Akhirnya tabuh rah merembet ke Bali yang bermula dari pelarian orang-orang Majapahit, sekitar tahun 1200 (IB Eka Darma Laksana ). Jika dilihat menurut perkembangan sejarahnya Tajennya sediri bukanlah dibentuk sebagai perjudian, melainkan  insersi memotoh/ botoh-nya itulah yang menjerumuskan Tajen sebagai bentuk perjudian. Terlebih oleh para raja di Bali pada abad ke-17 dan ke-18 menggunakan Tajen sebagai alat mengalahkan para petani untuk dijadikan budak bahkan pertaruhan sampai menjadikan anak dan istri mereka sebagai budak untuk dijual kepulau Jawa. (Geertz; 1980:199 dalam Arie Andhiko Ajie)
Tajen berasal dari kata Taji-an yang berarti pertarungan ayam menggunakan Taji atau pisau. Analogi yang mungkin mendekati pemahaman tersebut semisal permainan catur. Permainan catur akan menjadi perjudian apabila diturut sertanya pertaruhan-pertaruhan dengan harapan memperoleh suatu hasil kemenangan. Tentu akan berbeda kasus juga ketika permainan catur tersebut dalam sebuah perlombaan merebut suatu hadiah, hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai judi walaupun harapan memperoleh suatu hasil kemenangan.
Dari beberapa literatur-pun Tajen dapat dibagi menjadi beberapa jenis, diataranya; (1) Tajen Tabuh Rah~ tajen ini dipercaya menjadi kelengkapan upacara di Bali guna terpenuhinya Tabuh(mencecerkan) Rah(darah) sebagai suatu bentuk persembahan dalam kerangka spiritual budaya. (2) Tajen Terang~ yang biasanya dilakukan sebagai alat negosiasi politik antara raja dengan rakyatnya ataupun pada saat penerimaan tamu-tamu kerajaan pada jaman kerajaan. Setelah jaman kerajaan Tajen Terang tetap dilaksanakan sebagai ajang komunikasi para Petajen pemelihara ayam aduan, atau untuk kepentingan penggalian dana suatu wilayah adat serta berdasarkan ijin pemerintah adat setempat.(3) Tajen Baranangan~ memang diselenggarakan khusus untuk bebotoh/ penjudi. Dengan pembagian jenis Tajen ini sementara dapat dikatakan bahwa Tajen juga memiliki positive local genius.

Bagaimana memisahkan judi/botoh dari Tajen ?
Sebagaimana pada pada tulisan sebelumnya mengenai formulasi Pasal 303 KUHP pengertian  judi itu sendiri, diantaranya; (1) permaianan dengan bergantung pada peruntungan belaka, ini dapat diartikan bahwa pemenang dalam permainan karena kepandaiannya, kemahiran, nasib, ataupun kemampuan dengan adanya harapan mendapatkan hadiah/hasil kemenangan berlipat-lipat dari setiap kemenangan yang diperolehnya tanpa adanya pembatasan nilai tertinggi berapa yang harus didapatkan. (2) Juga termasuk terpenuhinya pengertian judi dengan adanya pertaruhan-pertaruran yang terjadi diluar yang terkait pada permainan tersebut. Dari formulasi tersebut agar Tajen dapat lepas dari unsur perjudian yaitu melepaskan harapan atas mendapatkan perutungan belaka. Atau secara sederhana untuk unsur judi tersebut dapat memodifikasi sistem Tajen dengan menentukan batas tertinggi jumlah uang yang beredar seluruhnya dalam setiap penyelenggaraan Tajen. Dapat saja untuk membatasi jumlah nominal uang yang beredar menggunakan media kupon bernilai nominal yang bersifat berlaku internal. Tentunya maksimal uang yang beredar dapam sekali penyelenggaraan Tajen sebesar nominal kupon yang tercetak saja. Untuk mewujudkan itu tentunya ada sebuah lembaga dibentuk kemudian khusus dan secara syah mencetak kupon sehingga dapat terawasi jumlah kupon yang beredar. Tidak cukup sampai disitu pertaruhan-pertaruhan dalam Tajen itupun wajib menggunakan kupon dengan nominal tersebut. Sehingga dengan berjalannya sistem ini diharapkan serupa dengan permainan bursa saham. Walaupun sistem ini kemudian dapat berjalan, memang tidak dapat dipungkiri karakter judi dalam masyarakat Bali akan tetap hidup. Namun paling tidak pengawasan Tajen dalam kapasitasnya dewasa ini sebagai judi liar dapat terfokus serta bersifat  preventif dan pemerintah dapat lebih selektif menentukan secara valid Tajen mana yang legal ataupun illegal.

Lalu dimana sifat kebudayaan Bali-nya?
Setiap budaya yang tumbuh dalam masyarakat tidak pernah berdiri sendiri, selalu ada faktor sebab akibat dan timbal balik sehingga budaya itu kemudian hadir. Begitupun pada Tajen yag sejarahnya dibentuk bukan untuk judi, melainkan untuk ritual upacara dan oleh masyarakat agraris Bali kuno dijadikan sumber hiburan pada masa senggang bercocok tanam. Sehingga demikian dengan tujuan beroriantasi budaya jangan biarkan Tajen melakukan pagelarannya sendiri. Kretifitas ide ini tentunya didukung dengan Tajen harus digelar bersamaan dengan entitas budaya lainnya, semisal; adanya joget bumbung sebelum atau sesudah Tajen diselenggarakan, ataukah dipadankan dengan gegenjekan pada Tajen tersebut ataupun bentuk lainnya. Tentu saja karena Tajen kemudian dipadankan dengan entitas budaya lainnya untuk kemudian juga pakaian ke Tajen menggunakan baju etnis budaya bali yang diseragamkan selayaknya pecalang. Tidak kalah pentingnya juga; berikan dan sediakan Tajen tempat untuk pegelaran yang strategis dengan akses publik, bahkan termasuk dapat diakses oleh kepentingan pariwisata. Bila perlu dinas pariwisata setempat memiliki jadwal kapan dan dimana Tajen akan diselenggarakan. Memang hal ini tidak akan serta merta diterima, tetapi mendaur ulang budaya kemudian nilai manfaat masal bagi pubik adalah bentuk keberhasilan kreatifitas masyarakat melestarikan suatu budaya sambil ber-interpreneur.

Tidakkah Tajen dikenakan pidana penyiksaan hewan ?
Memang sesungguhnya pidana penyiksaan hewan telah diatur dalam pasal 302 KUHP, berbunyi “(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan 1. barang siapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas, dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya; 2. barang siapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak memberi makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan, yang seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada di bawah pengawasannya, atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan sakit lebih dari seminggu, atau cacat atau menderita luka-luka berat lainnya, atau mati, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah, karena penganiayaan hewan. (3) Jika hewan itu milik yang bersalah, maka hewan itu dapat dirampas. (4) Percobaan melakukan kejahatan tersebut tidak dipidana.”
Yang perlu diingat dalam hal ini adalah jika telah ada suatu kesepakatan menjadikan Tajen sebagai pagelaran budaya, pemahaman yang sama semisal; Salah satu yang menjadi daya tarik wisatawan adalah Mapasilaga Tedong, adu kerbau khas  Tana Toraja. Maka secara definitif Tajen dan budaya sejenisnya sendiri tentunya akan terlindungi oleh UUD Negara RI 1945 Pasal 18 B yang berbunyi ; (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Bukan sebagai tujuan pembenaran, bahwa kepercayaan suatu budaya memiliki unsur-unsur persembahan. Sejauh tidak melanggar ketentuan hak asasi manusia, unsur-unsur persembahan turut dilegitimasi oleh negara sebagai kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Lagipula ayam yang digunakan untuk Tajen bukanlah sembarang ayam. Hanya ayam-ayam jantan tebaiklah yang dibawa dan dipertarungkan dalam arena Tajen. Untuk dapat bertarung di arena Tajen ayam harus diperlakukan lebih, baik dari makanannya, perawatannya termasuk kesehatannya. Bahkan ungkapan banyolan di Bali ; bebotoh lebih sayang ayamnya dari pada istrinya.
Namun dengan adanya tameng hukum secara implisit pada pasal 18 B UUD 1945 tersebut, selalu saja ada batasan-batasan yang harus dibuat. Studi kasus dilapangan yang sering terjadi; ketika salah satu petajen kalah dalam Tajen,mungkin karena emosinya membanting ayam aduannya, atau perbuatan mengambil Taji pada ayam cundang (kalah) dengan memotong langsung kaki ayam padahal ayam-ayam itu belum mati. Jenis-jenis perbuatan inilah yang harus benar-benar dihilangkan dari Tajen. Dengan menghilangkan perbuatan-perbuatan seperti itu paling tidak sedikitnya telah memangkas formulasi pasal 302 KUHP tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas. Dalam arti sederhana ; setelah ayam diturunkan pada arena Tajen, biarkan ayam-ayam itu bertarung sebagaimana nalurinya dan mati tanpa campu tangan manusia.


Bagaimana kemudian jika Tajen liar masih berkembang ?
Setelah Tajen itu dilegalisasi sebagai salah satu entitas budaya nantinya, sudah tentu perangkat-perangkat peraturan turut tercipta sebagai daya dukung mengkemas Tajen menjadi lebih ekslusif. Perangkat-perangkat peraturan itulah nantinya yang menjadi sekat antara Tajen yang diijinkan dan tidak diijinkan. Tidak seperti saat ini Tajen sebagai area abu-abu penegakan hukum, nantinya ketegasan aparat lebih akurat dalam memberantas Tajen yang illegal. Tidak dapat menutup mata lagi dan sudah menjadi rahasia umum, dalam beberapa pagelaran Tajen dihitam-putihkan oleh aparat sendiri.
Harapan yang lebih jauh adalah kesadaran masyarakat itu sendiri, ketika melihat budayanya sendiri diakui dalam bentuk legitimasi oleh Negara, maka secara bertahap akan jengah juga masyarakat untuk bertindak diluar budaya yang telah dilegitimasi. Seperti disampaikan diatas, prokontra Tajen ini merupakan persinggungan kepentingan antar kelompok masyarakat. Mengakomodasi seluruh kepentingan masyarakat dengan tetap berkerangkakan hukum merupakan hal ini menjadi suatu kestabilan dan kedinamisan social.

Tapi apakah etis Tajen sebagai parade budaya terlebih di Bali dipandang sebagai kiblatnya Hindu Indonesia ?
Etis tidaknya suatu budaya dilestarikan itu dikembalikan pada paradigma yang berkembang dimasyarakat. Sebaik ataupun seburuk apapun suatu budaya, masyarakat akan tetap mempertahankan sepanjang terkait dengan rasa nyaman masyarakat menjalankan kebudayaan itu dan terakomodasinya kepentingan serta kebutuhan masyarakat tersebut oleh budaya itu sendiri. Masyarakat yang semakin dewasa serta cerdas hukum memang memandang agama sebagai hubungan personal dengan Tuhan. Sedangkan dalam kerangka hukum seutuhnya hanya mengatur hak-hak asasi manusia dalam beragama. Begitupun dalam kehidupan sosial agama hanya melarang suatu perbuatan tetapi dalam kehidupan sosial agama tidak pernah menghukum suatu perbuatan.
Oleh karena itu dengan memperjelas kedudukan Tajen dalam suatu sistem perangkat aturan, khususnya Tajen tersebut dapat dilihat secara terpisah dari entitas agama. Tanpa disadari pihak luar Bali memandang Bali dari segi adat dan budayanya, sangat sedikit pihak luar memandang Bali dari agama Hindu-nya. Dengan demikian  untuk sementara dapat dikatakan inilah misi menyelamatkan budaya Bali dan agama Hindu dengan meng-kotak-kan budaya dengan agama pada kasus-kasus kegiatan sosial yang sifatnya terjadi perang kepentingan (kontaraversial).

Tajen itu membuang tenaga uang dan waktu, tidakkah ada hal lain yang patut diberdayakan ?
Fenomena Tajen ini dalam kehidupan sosial masyarakat Bali seperti bom waktu, setiap saat kembali meledak dan ada saatnya surut. Setiap meledaknya fenomena ini selalu menjadi ajang pertarungan argument. Setiap argument yng dilemparkan pasti dicegal dengan berbagai tanggapan dan aksi. Berangkat dari hal tersebut, Penulis mengeluarkan suatu ide dengan maksud menengahi dan berbagi solusi bilamana fenomena tajen ini kembali meledak. Mengingat ini adalah sebuah ide yang dapat dipandang secara subyektif saja tentunya akan banyak disandingkan dan dibantah dengan ide-ide lainnya yang lebih mutakhir. Dan akhir kata mari solusikan dengan komunikasi untuk kemudian komunikasikan dengan solusi.


Salam Prabu…!


PARADIGMA PATRA BHUMI