Total Tayangan Halaman

Sabtu, 06 September 2014

PLURALISME SEMU BAGI MINORITAS




Pendahuluan

Dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia oleh the founding father Soekarno-Hatta dengan mengatasnamakan bangsa Indonesia, maka sejarah Indonesia telah mencatat momentumnya bahwa Indonesia secara de facto merdeka sejak 17 Agustus 1945. Arti penting proklamasi tersebut dapat dipahami seluas-luasnya dalam kebebasan menentukan nasib Negara itu sendiri setelah terlepas dari belenggu penjajah. Proklamasi sebagai momentum sejarah Indonesia yang sakral, sesungguhnya telah dipikirkan secara matang dan terkonsep oleh pendiri Indonesia dengan berorientasi  pada masa depan kelangsungan kehidupan Indonesia dalam konteks berbangsa dan bernegara. Ini dibuktikan sebagaimana tertulis dalam teks proklamasi, berbunyi : “…kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya…” oleh para pendiri bangsa dengan pemikiran yang cerdas dan menginginkan suatu cita-cita luhur seutuhnya secara sadar telah mendahulukan kemerdekaan “bangsa”(nation) bukan kemerdekaan “negara”(state). Pemahaman yang dapat dimengerti dari kemerdekaan bangsa adalah suatu sikap untuk memerdekakan ikatan budaya yang telah hidup dalam masyarakat Indonesia dan perasaan persamaan nasib sebagai ikatan sejarah. Baru setelah bangsa Indonesia merdeka, disusul kemudian dengan kemerdekaan Negara Indonesia. Momentum kemerdekaan Negara Indonesia diartikan sebagai kemerdekaan suatu organisasi pemerintah dan hukum, baru setelah  pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945, dan dikuatkan dengan tercapainya persetujuan KMB tanggal 2 November 1949 bahwa Belanda mengakui RIS sebagai negara yang merdeka dan berdaulat selambat-lambatnya pada tanggal 30 Desember 1949.
Pemahaman diatas sangatlah penting untuk diketahui terlebih ketika membahas pluralisme di Indonesia. Terlebih lagi penghargaan terhadap pluralisme di Indonesia menghadapi masa-masa kritis akibat banyaknya terjadi sentimen-sentimen pribadi antar kelompok sosial. Yang patut disadari bahwa pluralisme yang terbentuk di Indonesia sangat kompleks baik secara stratifikasi sosial(vertikal) maupun differensiasi sosial (horizontal), dan seluruh bentuk pluralisme yang terjadi telah diatur dalam perangkat peraturan undang-undang. Namun paradigma yang terjadi di masyarakat pluralisme saat ini sedang disamarkan oleh fanatisme dari kelompok-kelompok tertentu. Terkadang pelecehan terhadap pluralisme sendiri dilakukan dengan ancaman-ancaman terbuka terhadap publik yang sangat ironis dengan kosep Bhineka Tunggal Ika. Dari hal tersebut, tulisan ini mencoba menguraikan mengkaji secara beberapa hal-hal yang terjadi terkait pluralisme itu sendiri.

Kontraversi Bali Melarang Jilbab

Kontraversi ini terjadi pertama kali adanya pelarangan penggunaan jilbab di salah satu SMA Negeri di Bali. Kemudian disusul terbitnya tulisan Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa III,SE (MTRU), M.Si ."Saya kecam kebijakan manajemen Jalan Tol Bali yg menerapkan aturan petugas jalan toll memakai jilbab dan peci selama Ramadhan. Hal ini sudah menjadi kontroversi dan meresahkan. Ini Bali Bung !!! The Island Of A Thousand Temple NOT The Land Of Arab / Qurawa. Kalau tdk sanggup hormati budaya Bali, silahkan keluar pulau ! Sy dukung petisi ganti pejabat kearab2an. Lawan gerakan syariah di Bali ! (Dr.W)," tulis Arya Wedakarna dalam akun Facebooknya yang dikutip merdeka.com, Kamis (17/7).
Konteks pelarangan jilbab di Bali dipandang oleh beberapa kelompok element masyarakat sebagai pelecehan suatu agama tertentu, tidak dapat sepenuhnya dikatakan benar. Jika secara jujur mau dilakukan penelitian mendalam pada saat kejadian itu, tidak saja pada lokasi jalan tol di Bali bahkan pada beberapa perusahaan swasta di Bali, dapat ditemukan beberapa kebijakan perusahaan tersebut menganjurkan menggunakan jilbab. Dampak kebijakan tersebut secara psikologis bagi umat non-muslim tentunya akan memaksakan diri mengikuti anjuran kebijakan tersebut selama berada dalam instansi-instansi tersebut. meskipun dalam beberapa media menyampaikan bahwa kebijakan tersebut merupakan suatu anjuran, namun dalam realitasnya anjuran dari pejabat yang berwenang dalam instansi-instansi tersebut setidaknya memiliki harapan agar jabatan dibawahnya mengikuti kebijakan yang ada. Harapan inilah yang kemudian tidak dapat dihindarkan menjadi suatu perintah baik berbentuk lisan ataupun dalam bentuk pola komunikasi lainnya sebagai daya paksa internal dalam instansi. Padahal secara ekslusif pemerintah memberikan jenis-jenis instansi dengan kekhususannya, semisal sekolah madrasah sudah tentu memiliki aturan internal sendiri yang berbeda dengan sekolah umum.Kebijakan-kebijakan yang mengadopsi menggunakan aksesoris-aksesoris agama(bukan budaya) pada area-area publik diluar yang dikhususkan, hal inilah yang sesungguhnya sebagai sikap anti pluralisme yang tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Yang patut disadari dan tak dapat dielakkan bahwa ada sekat yang sangat tipis antara rasa ikut serta menghormati suatu agama dengan kebijakan menyeragamkan suatu sudut pandang dari suatu agama. Tidak ada suatu tolak ukur yang dapat memisahkan dua hal tersebut kecuali meninggkatnya sensitifitas masing-masing kelompok agama. Sehingga yang sering menjadi perdebatan dipublik adalah pembenaran HAM-nya masing-masing dan masing-masing pula saling merasa dilecehkan. Negara Republik Indonesia menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sila pertama, hal ini menunjukan bahwa negara melindungi dan mengakui agama berikut entitas didalamnya bukan memerintah berdasarkan hukum agama (sekuler). Dalam hal inilah negara harus berdiri sebagai organisasi kekuasaan yang dapat mengatur kebijakan-kebijakan instansi publik dibawah naungannya agar tidak menjadi tumpang tindih serta konflik kepentingan. Pada pengertian lain negara harus mampu memilah  mana yang harus diseragamkan mana yang akan menimbulkan kesenjangan dan konflik sosial. Tentu saja akan menjadi dinamika yang aneh untuk negara jika semua pemeluk agama diberikan kebebasan untuk berlomba mengeksplorasi aksesesoris keagamaan masing-masing pada instansi-instansi publik. Dan mungkin akan merasa tidak adil juga bagi  agama lainnya  jika suatu agama saja yang diberikan kebebasan untuk mengekplorasi aksesorisnya pada instansi-instansi publik. Dilema ini akan terus ketika berlarut pemerintah tidak dapat mengkotakkan  antara budaya dengan agama secara proporsional sebagai dinamisnya pekembangan masyarakat.
Konteks pelarangan jilbab di Bali jika dibenturkan dengan konsep Hak Asasi Manusia, tentunya ini akan menjadi notabena fakta terhadap apa yang terjadi pada Daerah Istimewa Aceh. DI Aceh secara istimewa diberikan otonomi khusus dalam untuk mengatur corak ragam budayanya sendiri bahkan DI Aceh secara preventif dapat dan memiliki kewenangan untuk memproteksi dari ancaman terhadap budayanya. Bahkan banyak kajian akademis mengenai syariat di Aceh signifikan membenarkan atas telah tercerminkannya  Pasal 18 B Amandemen Kedua UUD 1945.Tentunya akan menjadi perdebatan yang alot secara nasional jika Bali meminta atau diberikan otonomi seperti di Aceh. Disinilah terlihat tidak strategisnya fungsi pemerintah memecahkan permasalahan sosial dalam masyarakat ditambah in-konsistennya antar peraturan perundangan yang ada serta berbanding lurus dengan sentimen-sentimen pribadi yang sengaja didoktrinkan oleh elemen kelompok masyarakat tertentu.

Kontraversi Bank Syariah

Suatu kesempatan Dr.Hj.Henri Saparini pengamat ekonomi dalam dialog kebangsaan mahasiswa di Bogor 2008, mengatakan bahwa; Sistem Ekonomi syariah adalah satu sistem ekonomi diantara banyak sistem ekonomi yang ada didunia, maka sistem ekonomi syariah ini bukan lagi milik umat Islam saja. Pendapat itu memang benar, namun hal itu menjadikan sudut pandang yang sempit dari kehidupan bernegara. Hal yang perlu diingat bahwa negara tidak terbentuk dari kekuatan bidang ekonomi saja. Bidang politik, hukum, maupun budaya adalah bidang-bidang yang memperkuat stabilitas kehidupan bernegara serta tidak dapat dipisahkan dari satu dengan lainnya. Jika sistem Syariat itu merasa penting dan berguna bagi masyarakat Indonesia maka seharusnya sistem tersebut harus dinasionalisasi oleh pemerintah sehingga karakter eksklusif peristilahan bagi suatu agama tidak tercantum dalam sistem ekonomi tersebut. Stigma masyarakat yang multi kultur dan religi belum mampu menerima secara dewasa mengenai peristilahan seperti ini, baik itu umat agama yang dipakai entitas keagamaannya akan merasa superior ataupun umat agama lainnya akan memiliki sudut pandang menjadi pihak diluar dari pada sistem.
Dari perdebatan-perdebatan yang terjadi pada publik, jika dicermati lebih dalam sebenarnya bukan masalah entitas-entitas ekonomi yang ada dalam sistem syariah tersebut. Sudut pandang sosial, budaya, serta religi yang terjadi dalam peristilahannya adalah hal yang sangat sensitif bagi sekelompok masyarakat. Tidak dapat disalahkan juga dalam masyarakat majemuk, jika ada beberapa pendapat ; sistem bunga diganti dengan bagi hasil mungkin masih dapat diterima umum, tapi bagaimana dengan yang umat lainnya yang tidak pernah mengenal pemahaman dan kata “wajib zakat”. Dari petikan penyataan itu sebenarnya ada sikap pesimistis yang terjadi dalam suatu kelompok sosial masyarakat dalam memandang suatu sistem ekonomi yang telah turut dicanangkan oleh pemerintah. Sebagaimana pidato Presiden tanggal 17 November 2013 Pencanangan Gerakan Ekonomi Syariah (Gres !), sebenarnya memiliki dualisme pemahaman. Pemahaman pertama; ketidakpahaman pemerintah sendiri mengenai syariah, karena dengan meng-insersi syariah sepenuhnya pada semua lini dalam kehidupan bernegara, ini berarti menghilangkan sifat eksklusifnya dari dasar-dasar mengapa sistem tersebut diciptakan/dijalankan. Sebagai sebuah sistem ekonomi, Syariah sendiri mempunyai batasan-batasan yang bersifat religius yang suatu saat akan berbenturan dengan sektor-sektor ekonomi yang telah lama ada dan tidak dapat dimasukkan pada ranah syariah. Pemahaman Kedua ; Pemerintah memang mengerti Syariah, karena melihat adanya suatu peluang untuk mengkemas suatu ideologi atau sebuah konspirasi dalam bentuk komunikasi politik dan sosial. Pemahaman inilah sesungguhnya menjadi suatu konspirasi yang melemahkan rasa nasionalisme sebagai warga negara Indonesia.

Penutup

Seperti kata Bung Karno; jangan sekali-kali melupakan sejarah. Memang harus dipahami bersama sebagai bentuk kebhinekaan Indonesia, walaupun kontraversi Piagam Jakarta masih menjadi perdebatan sengit antar kelompok masyarakat. Nilai positif yang dapat diambil dari pristiwa Piagam Jakarta adalah; Jika tokoh-tokoh yang terlibat dalam pembuatan Piagam Jakarta notabena mayoritas islam tidak menghargai keberagaman yang ada di Indonesia, mungkin segala pendapat, dalil, politik ataupun konspirasi yang diajukan oleh wakil-wakil dari Indonesia Timur pada saat itu (diataranya sam Ratu Langi & Mr.Ketut Pudja), maka tokoh-tokoh tersebut dengan segala cara dan upaya  menegakkan dan mempertahankan Piagam Jakarta, dan bahkan mungkin pada saat itu juga dengan sengaja dan rela melepaskan Indonesia sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan dimasukkannya Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945, paradigma sekelompok masyarakat menyalahartikan Piagam Jakarta sebagai bentuk negara menuju sekuler adalah suatu kesalahan besar. Pengamalan Piagam Jakarta seutuhnya dengan konsep “menjalankan syariat bagi para pemeluk-pemeluknya”  konstitusi dan negara harus mampu memisahkan yang mana pemeluk Islam dan yang mana bukan pemeluk Islam. Termasuk negara juga harus mampu memisahkan mana hal yang namanya pemerintah, negara, dan agama Islam. Dalam pengertian lain bahwa pemeluk suatu agama adalah orang bukan instansi ataupun organisasi, sehingga bagi bukan pemeluk Syariat tidak dapat diwajibkan ataupun dipaksa mengikuti kebijakan ataupun aturan-aturan yang ditetapkan oleh syariat. Namun kembali lagi akan menjadi pertentangan paradigma sosial dalam masyarakat ketika pemerintah menegaskan sekat-sekat yang mekotakkan masyarakat, mengingat bukan hal itulah yang diharapkan untuk ajegnya Bhineka Tunggal Ika.


Salam Prabu : Solusikan dengan Komunikasi, Komunikasikan dengan Solusi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar