Pendahuluan
Dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia oleh the founding father Soekarno-Hatta
dengan mengatasnamakan bangsa Indonesia, maka sejarah Indonesia telah mencatat
momentumnya bahwa Indonesia secara de facto
merdeka sejak 17 Agustus 1945. Arti penting proklamasi tersebut dapat dipahami
seluas-luasnya dalam kebebasan menentukan nasib Negara itu sendiri setelah
terlepas dari belenggu penjajah. Proklamasi sebagai momentum sejarah Indonesia
yang sakral, sesungguhnya telah dipikirkan secara matang dan terkonsep oleh
pendiri Indonesia dengan berorientasi pada masa depan kelangsungan kehidupan
Indonesia dalam konteks berbangsa dan bernegara. Ini dibuktikan sebagaimana
tertulis dalam teks proklamasi, berbunyi : “…kami
bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya…” oleh para pendiri
bangsa dengan pemikiran yang cerdas dan menginginkan suatu cita-cita luhur seutuhnya
secara sadar telah mendahulukan kemerdekaan “bangsa”(nation) bukan kemerdekaan
“negara”(state). Pemahaman yang dapat dimengerti dari kemerdekaan bangsa adalah
suatu sikap untuk memerdekakan ikatan budaya yang telah hidup dalam masyarakat
Indonesia dan perasaan persamaan nasib sebagai ikatan sejarah. Baru
setelah bangsa Indonesia merdeka, disusul kemudian dengan kemerdekaan Negara
Indonesia. Momentum kemerdekaan Negara Indonesia diartikan sebagai kemerdekaan
suatu organisasi pemerintah dan hukum, baru setelah pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945,
dan dikuatkan dengan tercapainya persetujuan KMB tanggal 2 November 1949 bahwa
Belanda mengakui RIS sebagai negara yang merdeka dan berdaulat
selambat-lambatnya pada tanggal 30 Desember 1949.
Pemahaman
diatas sangatlah penting untuk diketahui terlebih ketika membahas pluralisme di
Indonesia. Terlebih lagi penghargaan terhadap pluralisme di Indonesia
menghadapi masa-masa kritis akibat banyaknya terjadi sentimen-sentimen pribadi
antar kelompok sosial. Yang patut disadari bahwa pluralisme yang terbentuk di
Indonesia sangat kompleks baik secara stratifikasi sosial(vertikal) maupun
differensiasi sosial (horizontal), dan seluruh bentuk pluralisme yang terjadi
telah diatur dalam perangkat peraturan undang-undang. Namun paradigma yang terjadi
di masyarakat pluralisme saat ini sedang disamarkan oleh fanatisme dari
kelompok-kelompok tertentu. Terkadang pelecehan terhadap pluralisme sendiri
dilakukan dengan ancaman-ancaman terbuka terhadap publik yang sangat ironis
dengan kosep Bhineka Tunggal Ika. Dari hal tersebut, tulisan ini mencoba
menguraikan mengkaji secara beberapa hal-hal yang terjadi terkait pluralisme
itu sendiri.
Kontraversi Bali Melarang Jilbab
Kontraversi
ini terjadi pertama kali adanya pelarangan penggunaan
jilbab di salah satu SMA Negeri di Bali.
Kemudian disusul terbitnya tulisan Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna
Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa III,SE (MTRU),
M.Si ."Saya kecam kebijakan manajemen Jalan Tol Bali yg menerapkan
aturan petugas jalan toll memakai jilbab dan peci selama Ramadhan. Hal ini sudah menjadi kontroversi dan
meresahkan. Ini Bali Bung !!! The Island Of A Thousand Temple NOT The Land Of Arab / Qurawa. Kalau tdk sanggup
hormati budaya Bali, silahkan keluar pulau ! Sy dukung petisi ganti pejabat kearab2an. Lawan gerakan syariah di
Bali ! (Dr.W)," tulis Arya Wedakarna
dalam akun Facebooknya yang dikutip
merdeka.com, Kamis (17/7).
Konteks pelarangan jilbab di Bali dipandang oleh beberapa kelompok
element masyarakat sebagai pelecehan suatu agama tertentu, tidak dapat
sepenuhnya dikatakan benar. Jika secara jujur mau dilakukan penelitian mendalam
pada saat kejadian itu, tidak saja pada lokasi jalan tol di Bali bahkan pada
beberapa perusahaan swasta di Bali, dapat ditemukan beberapa kebijakan
perusahaan tersebut menganjurkan menggunakan jilbab. Dampak kebijakan tersebut
secara psikologis bagi umat non-muslim tentunya akan memaksakan diri mengikuti
anjuran kebijakan tersebut selama berada dalam instansi-instansi tersebut.
meskipun dalam beberapa media menyampaikan bahwa kebijakan tersebut merupakan
suatu anjuran, namun dalam realitasnya anjuran dari pejabat yang berwenang dalam
instansi-instansi tersebut setidaknya memiliki harapan agar jabatan dibawahnya
mengikuti kebijakan yang ada. Harapan inilah yang kemudian tidak dapat
dihindarkan menjadi suatu perintah baik berbentuk lisan ataupun dalam bentuk pola
komunikasi lainnya sebagai daya paksa internal dalam instansi. Padahal secara
ekslusif pemerintah memberikan jenis-jenis instansi dengan kekhususannya,
semisal sekolah madrasah sudah tentu
memiliki aturan internal sendiri yang berbeda dengan sekolah umum.Kebijakan-kebijakan
yang mengadopsi menggunakan aksesoris-aksesoris agama(bukan budaya) pada
area-area publik diluar yang dikhususkan, hal inilah yang sesungguhnya sebagai
sikap anti pluralisme yang tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Yang patut disadari dan tak dapat dielakkan bahwa ada sekat yang
sangat tipis antara rasa ikut serta menghormati suatu agama dengan kebijakan
menyeragamkan suatu sudut pandang dari suatu agama. Tidak ada suatu tolak ukur
yang dapat memisahkan dua hal tersebut kecuali meninggkatnya sensitifitas
masing-masing kelompok agama. Sehingga yang sering menjadi perdebatan dipublik
adalah pembenaran HAM-nya masing-masing dan masing-masing pula saling merasa
dilecehkan. Negara Republik Indonesia menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sila
pertama, hal ini menunjukan bahwa negara melindungi dan mengakui agama berikut
entitas didalamnya bukan memerintah berdasarkan hukum agama (sekuler). Dalam
hal inilah negara harus berdiri sebagai organisasi kekuasaan yang dapat
mengatur kebijakan-kebijakan instansi publik dibawah naungannya agar
tidak menjadi tumpang tindih serta konflik kepentingan. Pada pengertian lain
negara harus mampu memilah mana yang
harus diseragamkan mana yang akan menimbulkan kesenjangan dan konflik sosial. Tentu
saja akan menjadi dinamika yang aneh untuk negara jika semua pemeluk agama
diberikan kebebasan untuk berlomba mengeksplorasi aksesesoris keagamaan
masing-masing pada instansi-instansi publik. Dan mungkin akan merasa tidak adil
juga bagi agama lainnya jika suatu agama saja yang diberikan
kebebasan untuk mengekplorasi aksesorisnya pada instansi-instansi publik. Dilema
ini akan terus ketika berlarut pemerintah tidak dapat mengkotakkan antara budaya dengan agama secara
proporsional sebagai dinamisnya pekembangan masyarakat.
Konteks pelarangan jilbab di Bali jika dibenturkan dengan konsep Hak
Asasi Manusia, tentunya ini akan menjadi notabena fakta terhadap apa yang
terjadi pada Daerah Istimewa Aceh. DI Aceh secara istimewa diberikan otonomi khusus
dalam untuk mengatur corak ragam budayanya sendiri bahkan DI Aceh secara
preventif dapat dan memiliki kewenangan untuk memproteksi dari ancaman terhadap
budayanya. Bahkan banyak kajian akademis mengenai syariat di Aceh
signifikan membenarkan atas telah tercerminkannya Pasal 18 B Amandemen Kedua
UUD 1945.Tentunya akan menjadi perdebatan yang alot
secara nasional jika Bali meminta atau diberikan otonomi seperti di Aceh.
Disinilah terlihat tidak strategisnya fungsi pemerintah memecahkan permasalahan
sosial dalam masyarakat ditambah in-konsistennya antar peraturan perundangan
yang ada serta berbanding lurus dengan sentimen-sentimen pribadi yang sengaja
didoktrinkan oleh elemen kelompok masyarakat tertentu.
Kontraversi Bank Syariah
Suatu
kesempatan Dr.Hj.Henri Saparini
pengamat ekonomi dalam dialog kebangsaan mahasiswa di Bogor 2008, mengatakan
bahwa; Sistem Ekonomi syariah adalah satu
sistem ekonomi diantara banyak sistem ekonomi yang ada didunia, maka sistem
ekonomi syariah ini bukan lagi milik umat Islam saja. Pendapat itu memang
benar, namun hal itu menjadikan sudut pandang yang sempit dari kehidupan
bernegara. Hal yang perlu diingat bahwa negara tidak terbentuk dari kekuatan
bidang ekonomi saja. Bidang politik, hukum, maupun budaya adalah bidang-bidang
yang memperkuat stabilitas kehidupan bernegara serta tidak dapat dipisahkan
dari satu dengan lainnya. Jika sistem Syariat itu merasa penting dan berguna
bagi masyarakat Indonesia maka seharusnya sistem tersebut harus
dinasionalisasi oleh pemerintah sehingga karakter eksklusif peristilahan
bagi suatu agama tidak tercantum dalam sistem ekonomi tersebut. Stigma
masyarakat yang multi kultur dan religi belum mampu menerima secara dewasa
mengenai peristilahan seperti ini, baik itu umat agama yang dipakai entitas keagamaannya
akan merasa superior ataupun umat agama lainnya akan memiliki sudut pandang
menjadi pihak diluar dari pada sistem.
Dari
perdebatan-perdebatan yang terjadi pada publik, jika dicermati lebih dalam
sebenarnya bukan masalah entitas-entitas ekonomi yang ada dalam sistem syariah
tersebut. Sudut pandang sosial, budaya, serta religi yang terjadi dalam
peristilahannya adalah hal yang sangat sensitif bagi sekelompok masyarakat. Tidak
dapat disalahkan juga dalam masyarakat majemuk, jika ada beberapa pendapat ; sistem bunga diganti dengan bagi hasil mungkin
masih dapat diterima umum, tapi bagaimana dengan yang umat lainnya yang tidak
pernah mengenal pemahaman dan kata “wajib zakat”. Dari petikan penyataan
itu sebenarnya ada sikap pesimistis yang terjadi dalam suatu kelompok sosial
masyarakat dalam memandang suatu sistem ekonomi yang telah turut dicanangkan
oleh pemerintah. Sebagaimana pidato Presiden tanggal 17 November 2013
Pencanangan Gerakan Ekonomi Syariah (Gres !), sebenarnya memiliki dualisme pemahaman. Pemahaman pertama; ketidakpahaman
pemerintah sendiri mengenai syariah, karena dengan meng-insersi syariah
sepenuhnya pada semua lini dalam kehidupan bernegara, ini berarti menghilangkan
sifat eksklusifnya dari dasar-dasar mengapa sistem tersebut
diciptakan/dijalankan. Sebagai sebuah sistem ekonomi, Syariah sendiri mempunyai
batasan-batasan yang bersifat religius yang suatu saat akan berbenturan dengan
sektor-sektor ekonomi yang telah lama ada dan tidak dapat dimasukkan pada ranah
syariah. Pemahaman Kedua ; Pemerintah
memang mengerti Syariah, karena melihat adanya suatu peluang untuk mengkemas suatu
ideologi atau sebuah konspirasi dalam bentuk komunikasi politik dan sosial. Pemahaman inilah sesungguhnya menjadi suatu konspirasi
yang melemahkan rasa nasionalisme sebagai warga negara Indonesia.
Penutup
Seperti
kata Bung Karno; jangan sekali-kali melupakan
sejarah. Memang harus dipahami bersama sebagai bentuk kebhinekaan
Indonesia, walaupun kontraversi Piagam Jakarta masih menjadi perdebatan sengit
antar kelompok masyarakat. Nilai positif yang dapat diambil dari pristiwa
Piagam Jakarta adalah; Jika tokoh-tokoh
yang terlibat dalam pembuatan Piagam Jakarta notabena mayoritas islam tidak menghargai
keberagaman yang ada di Indonesia, mungkin segala pendapat, dalil, politik
ataupun konspirasi yang diajukan oleh wakil-wakil dari Indonesia Timur pada
saat itu (diataranya sam Ratu Langi & Mr.Ketut Pudja), maka tokoh-tokoh
tersebut dengan segala cara dan upaya
menegakkan dan mempertahankan Piagam Jakarta, dan bahkan mungkin pada
saat itu juga dengan sengaja dan rela melepaskan Indonesia sebagai bagian dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan dimasukkannya Piagam Jakarta
dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945, paradigma
sekelompok masyarakat menyalahartikan Piagam Jakarta sebagai bentuk negara
menuju sekuler adalah suatu kesalahan besar. Pengamalan Piagam Jakarta
seutuhnya dengan konsep “menjalankan syariat bagi para pemeluk-pemeluknya” konstitusi dan negara harus mampu memisahkan
yang mana pemeluk Islam dan yang mana bukan pemeluk Islam. Termasuk negara juga
harus mampu memisahkan mana hal yang namanya pemerintah, negara, dan agama
Islam. Dalam pengertian lain bahwa pemeluk suatu agama adalah orang bukan
instansi ataupun organisasi, sehingga bagi bukan pemeluk Syariat tidak dapat
diwajibkan ataupun dipaksa mengikuti kebijakan ataupun aturan-aturan yang
ditetapkan oleh syariat. Namun kembali lagi akan
menjadi pertentangan paradigma sosial dalam masyarakat ketika pemerintah
menegaskan sekat-sekat yang mekotakkan masyarakat, mengingat bukan hal itulah
yang diharapkan untuk ajegnya Bhineka Tunggal Ika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar