Total Tayangan Halaman

Kamis, 18 September 2014

IBARAT NEGARA ADALAH SEUNIT MOTOR [UU MD3 & UU PILKADA ADALAH BENTUK OVER PERKUATAN PARLEMEN YANG DAPAT MELEMAHKAN PRINSIP DEMOKRASI]



Organisasi negara tidak begitu jauh jika diasumsikan dengan sebuah rangkaian unit kendaraan bermotor. Selayaknya satu unit motor, negara menempatkan Legislatif sebagai mesin utamanya, Eksekutif sebagai roda hingga rangka dan stang kemudinya, sedangkan Yudikatif ditempatkan sebagai rem-nya. Semua bagian dari kendaraan tersebut tidak ada yang tidak penting dalam upaya mengoperasikan unit motor tersebut. Misalkan saja unit motor tersebut tidak ada rangka, roda dan stang kemudi, tentu tidak mungkin ada tempat rem berpijak ataupun tidak mungkin juga mesin dapat dapat melaju ketempat yang dikehendaki. Begitupun rangka, roda dan stang serta rem tidak akan berfungsi sempurna ketika tidak ada mesin penggeraknya. Senada dengan kasus itu juga, jika unit motor telah lengkap namun tanpa dilengkapi dengan rem,  maka tentunya melajukan kendaraan akan perlu kelihaian dan kewaspadaan yang sangat tinggi agar tidak terjadi kecelakaan yang menyebabkan semua rangkaian unit tidak berfungsi. Satu kesatuan rangkaian badan-badan negara tersebut, itulah yang disebut sebagai Trias Politika.

Teori Trias politika ini diciptakan sebagai fungsi chek & balance  dan mengatur hubungan antar kekuasaan lembaga negara dalam menjalankan pemerintahan. Indonesia sendiri menerapkan Trias Politika sebagai pembagian kekuasaan (devide of power) bukan sebagai pemisahan kekuasaan (sparation of power). Sehingga untuk menjalankan fungsi dan peranannya lembaga-lembaga negara ini diberikan kekuasaan yang setara serta tidak ada satupun yang bersifat superior terhadap lembaga negara lainnya. Dalam artian bahwa dalam hal pembagian kekuasaan jika diberikan Perkuatan Legitimasi kepada salah satu Lembaga Negara ini dikhawatirkan akan menyebabkan konflik negatif kepentingan dalam pemerintahan itu sendiri.

Dengan adanya Revisi UU MD3 dan, sesungguhnya merupakan suatu sifat Perkuatan Parlemen (legislatif/DPR) sebelum lembaga Negara lainnya menjalankan fungsi dan peranannya. Perkuatan Parlemen berarti menambahkan sifat superiornya Parlemen terhadap Lembaga Negara lainnya seperti Eksekutif, Yudikatif, termasuk aparat penegak hukum. Ketimpangan kekuasaan ini tentunya pastinya juga akan menghambat fungsi dan peran Lembaga Negara lainnya. Hal-hal yang mendasar dalam UU MD3 yang menyebabkan Perkuatan Parlemen diantaranya adalah;

  1. Dalam pasal 80 hak anggota DPR mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan, hak ini dapat diartikan sempit oleh anggota DPR jika tanpa prosedur yang jelas. Seiring dengan maksud tersebut, hal ini menjadi ambigu/kekaburan norma ketika Anggota DPR berkewajiban menempatkan diri mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan. Indikasi yang kemungkinan dapat terjadi adalah dalih-dalih Anggota DPR menjalankan pencitraan pribadi bertamengkan uang negara. 
  2.  Hak imunitas yang berlebihan (pasal 224) diantaranya anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana dalam kapasitas tugas dan wewenangnya tidak dapat dipanggil dan diminta keterangan sebelum mendapat persetujuan tertulis dari Majelis Kehormatan Dewan (MKD). Hal ini tentu sangat bertentangan dengan prinsip equality before the law dan mengesampingkan sifat hukum pidana sendiri sebagai hukum materiil (kebenaran absolut). Terlebih prasangka hukum atas kesempatan untuk dapat menghilangkan alat bukti ataupun melarikan diri serta merta menjadi kesempatan yang dapat digunakan seluas-luasnya. 
  3.  Masih dalam pasal 224, MKD berubah menjadi aparat penegak hukum sekaligus memiliki fungsi yudikatif dengan tidak memberikan persetujuan pemanggilan terhadap Anggota DPR yang diduga yang diduga melakukan tindak pidana dalam kapasitas tugas dan wewenangnya menyebabkan pemanggilan tersebut menjadi batal demi hukum. Yang menjadi permasalahan hukum adalah keputusan subyektif dari MKD dapat dijadikan suatu konspirasi sebagai penggelapan hukum.   Hapusnya kewajiban DPR melaporkan pengelolaan anggaran kepada publik dalam laporan kinerja tahunan (Pasal 73 angka 5 UU 27 2009) dan dihapusnya Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) (Pasal 110 UU 27 2009). Dua pasal ini semakin menyangsikan masyarakat bahwa DPR akan berlaku transparan terhadap keuangan negara. Padahal dengan adanya publik dan BAKN adalah indikator pengawasan terhadap kinerja DPR.
Bentuk-bentuk Perkuatan Parlemen seperti inilah semakin meningkatkan mosi tidak percaya publik terhada Parlemen/DPR. Sehingga sementara patut dibenarkan adanya kelompok-kelompok masyarakat yang kontra dengan undang-undang ini.Yang seharusnya publik merasa diayomi hak-haknya dan partisipasi politiknya, namun sebaliknya justru publiklah yang mengayomi dan menjadi korban kepentingan-kepentingan Anggota DPR.

Belum lagi selesai persoalan UUMD3, publik kembali berpikir dengan sikap pro dan kontra terhadap Rancangan UU Pilkada. Pro kotra yang terjadi dalam publik adalah setuju dan tidaknya Kepala daerah dipilih langsung. Seluruh perdebatan yang terjadi terhadap Pemilihan kepala daerah masing-masing memunculkan suatu kebenaran-kebenaran yang faktual ataupun secara konstitusional. Namun demikian harapan kesetabilan politik dalam negri Indonesia seidealnya jangan sampai kembali terjadi Perkuatan salah satu Lembaga Negara. Diluar sikap dukung-mendukung antar koalisi partai, setidaknya ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian yang sangat serius ketika undang-undang ini diterapkan atau tidak. Sehingga korelasi-korelasi teori hukum ini setidaknya memberi pandangan bagaimana sebaiknya pemilihan kepala daerah, diantaranya;

  1. Presiden, Gubernur, dan Bupati adalah lembaga negara/jabatan yang memegang fungsi dan peran Eksekutif. Secara struktur Gubenur adalah perpanjangan tangan dari Presiden, dan Bupati adalah perpanjangan tangan dari Gubernur. Sehingga dalam struktur vertikal Eksekutif,seluruh jabatan-jabatan tersebut idealnya memiliki visi & misi yang sama serta saling mendukung kebijakan yang dijalankan. Jika antar jabatan dalam Eksekutif saling berbeda misi dan visi tentunya tidak akan terjadi pemerataan berlakunya kebijakan negara. 
  2. DPR & DPRD adalah lembaga Legislatif negara, yang tidak diberikan fungsi dan peran sebagai Eksekutif (eksekutor). Dalam artian bahwa; memberikan DPR memilih Kepala Daerah berarti DPR dapat menjelma sebagai eksekutor. 
  3.  Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum Indonesia. Jika mutlak dan secara sempit menerapkan Sila Ke-4 Pancasila, bahkan semua bentuk Pemilu di Indonesia seharusnya tidak dapat dilaksanakan sebelum dilakukannya musyawarah. Karena Sila Ke-4 menghendaki seluruh keputusan didasari musyawarah yang menghasilkan mufakat. Yang berarti Pemilihan Kepala Pemerintahan terlebih dahulu dilakukan melalui kesepakatan politik yang mufakat dan tidak ada pengesampingan terhadap suara minoritas sekecil apapun. Baru setelah musyawarah tidak menemukan mufakat selanjut dilakukan pemungutan suara (one man one vote). 
  4.  Kenisbian kehidupan bernegara bahwa; kelompok publik yang memilih mendudukan seorang anggota parlemen, pasti belum tentu kemudian memiliki pendapat, pandangan ataupun sikap yang sama atas kebijakan dan keputusan dari anggota parlemen tersebut. Ketika hal ini terjadi, maka sebagaimana maksud Sila Ke-4 suara publik tersebut harus diperhitungkan dalam suatu musyawarah yang mufakat. Ketika tidak-pun menemukan mufakat dari publik tersebut, maka sudah tentunya ditentukan dengan pemungutan suara juga. 
  5. 10 Catatan/syarat Perbaikan dari Demokrat untuk RUU Pilkada (Tribunnews, 19/9/2014). Sesungguhnya 10 syarat yang di ajukan SBY, lebih tepat untuk memperbaiki undang-undang partai. Dengan baiknya fungsi rekrutment dan regulasi kebijakan internal partai pastinya membawa dampak calon-calon pejabat pemerintahan yang diajukan terseleksi lebih baik dan berkompeten.  
  6. Demokrasi memang mahal Bung…!(red) Mahalnya demokrasi bukan karena berapa besar uang negara yang keluar, tapi kepuasan rakyat ikut berpesta demokrasi dan menikmati hak-haknya sebagai warga negara sebagai hasil dari pesta demokrasi itu yang lebih mahal.

Jika dapat ditarik kesimpulan dari apa yang telah diuraikan diatas; janganlah menjadikan konstitusi sebagai tameng kepentingan guna Perkuatan Lembaga Negara. Harapan diciptakan konstitusi dalam kerangka Trias politika adalah untuk terjadi perkuatan daya atur pemerintah dalam arti luas dan negara baik kedalam maupun keluar. Sangat tepat Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum dalam kehidupan bernegara selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), budaya hukum (legal culture). Maka semakin dewasa Negara politik Indonesia saat ini, haruslah beriring dengan tumbuhnya karakter membangun negara dari seluruh elemen-elemen negara.

 Salam PRABU : Solusikan dengan Komunikasi, Komunikasikan dengan Solusi

Sabtu, 06 September 2014

PLURALISME SEMU BAGI MINORITAS




Pendahuluan

Dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia oleh the founding father Soekarno-Hatta dengan mengatasnamakan bangsa Indonesia, maka sejarah Indonesia telah mencatat momentumnya bahwa Indonesia secara de facto merdeka sejak 17 Agustus 1945. Arti penting proklamasi tersebut dapat dipahami seluas-luasnya dalam kebebasan menentukan nasib Negara itu sendiri setelah terlepas dari belenggu penjajah. Proklamasi sebagai momentum sejarah Indonesia yang sakral, sesungguhnya telah dipikirkan secara matang dan terkonsep oleh pendiri Indonesia dengan berorientasi  pada masa depan kelangsungan kehidupan Indonesia dalam konteks berbangsa dan bernegara. Ini dibuktikan sebagaimana tertulis dalam teks proklamasi, berbunyi : “…kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya…” oleh para pendiri bangsa dengan pemikiran yang cerdas dan menginginkan suatu cita-cita luhur seutuhnya secara sadar telah mendahulukan kemerdekaan “bangsa”(nation) bukan kemerdekaan “negara”(state). Pemahaman yang dapat dimengerti dari kemerdekaan bangsa adalah suatu sikap untuk memerdekakan ikatan budaya yang telah hidup dalam masyarakat Indonesia dan perasaan persamaan nasib sebagai ikatan sejarah. Baru setelah bangsa Indonesia merdeka, disusul kemudian dengan kemerdekaan Negara Indonesia. Momentum kemerdekaan Negara Indonesia diartikan sebagai kemerdekaan suatu organisasi pemerintah dan hukum, baru setelah  pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945, dan dikuatkan dengan tercapainya persetujuan KMB tanggal 2 November 1949 bahwa Belanda mengakui RIS sebagai negara yang merdeka dan berdaulat selambat-lambatnya pada tanggal 30 Desember 1949.
Pemahaman diatas sangatlah penting untuk diketahui terlebih ketika membahas pluralisme di Indonesia. Terlebih lagi penghargaan terhadap pluralisme di Indonesia menghadapi masa-masa kritis akibat banyaknya terjadi sentimen-sentimen pribadi antar kelompok sosial. Yang patut disadari bahwa pluralisme yang terbentuk di Indonesia sangat kompleks baik secara stratifikasi sosial(vertikal) maupun differensiasi sosial (horizontal), dan seluruh bentuk pluralisme yang terjadi telah diatur dalam perangkat peraturan undang-undang. Namun paradigma yang terjadi di masyarakat pluralisme saat ini sedang disamarkan oleh fanatisme dari kelompok-kelompok tertentu. Terkadang pelecehan terhadap pluralisme sendiri dilakukan dengan ancaman-ancaman terbuka terhadap publik yang sangat ironis dengan kosep Bhineka Tunggal Ika. Dari hal tersebut, tulisan ini mencoba menguraikan mengkaji secara beberapa hal-hal yang terjadi terkait pluralisme itu sendiri.

Kontraversi Bali Melarang Jilbab

Kontraversi ini terjadi pertama kali adanya pelarangan penggunaan jilbab di salah satu SMA Negeri di Bali. Kemudian disusul terbitnya tulisan Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa III,SE (MTRU), M.Si ."Saya kecam kebijakan manajemen Jalan Tol Bali yg menerapkan aturan petugas jalan toll memakai jilbab dan peci selama Ramadhan. Hal ini sudah menjadi kontroversi dan meresahkan. Ini Bali Bung !!! The Island Of A Thousand Temple NOT The Land Of Arab / Qurawa. Kalau tdk sanggup hormati budaya Bali, silahkan keluar pulau ! Sy dukung petisi ganti pejabat kearab2an. Lawan gerakan syariah di Bali ! (Dr.W)," tulis Arya Wedakarna dalam akun Facebooknya yang dikutip merdeka.com, Kamis (17/7).
Konteks pelarangan jilbab di Bali dipandang oleh beberapa kelompok element masyarakat sebagai pelecehan suatu agama tertentu, tidak dapat sepenuhnya dikatakan benar. Jika secara jujur mau dilakukan penelitian mendalam pada saat kejadian itu, tidak saja pada lokasi jalan tol di Bali bahkan pada beberapa perusahaan swasta di Bali, dapat ditemukan beberapa kebijakan perusahaan tersebut menganjurkan menggunakan jilbab. Dampak kebijakan tersebut secara psikologis bagi umat non-muslim tentunya akan memaksakan diri mengikuti anjuran kebijakan tersebut selama berada dalam instansi-instansi tersebut. meskipun dalam beberapa media menyampaikan bahwa kebijakan tersebut merupakan suatu anjuran, namun dalam realitasnya anjuran dari pejabat yang berwenang dalam instansi-instansi tersebut setidaknya memiliki harapan agar jabatan dibawahnya mengikuti kebijakan yang ada. Harapan inilah yang kemudian tidak dapat dihindarkan menjadi suatu perintah baik berbentuk lisan ataupun dalam bentuk pola komunikasi lainnya sebagai daya paksa internal dalam instansi. Padahal secara ekslusif pemerintah memberikan jenis-jenis instansi dengan kekhususannya, semisal sekolah madrasah sudah tentu memiliki aturan internal sendiri yang berbeda dengan sekolah umum.Kebijakan-kebijakan yang mengadopsi menggunakan aksesoris-aksesoris agama(bukan budaya) pada area-area publik diluar yang dikhususkan, hal inilah yang sesungguhnya sebagai sikap anti pluralisme yang tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Yang patut disadari dan tak dapat dielakkan bahwa ada sekat yang sangat tipis antara rasa ikut serta menghormati suatu agama dengan kebijakan menyeragamkan suatu sudut pandang dari suatu agama. Tidak ada suatu tolak ukur yang dapat memisahkan dua hal tersebut kecuali meninggkatnya sensitifitas masing-masing kelompok agama. Sehingga yang sering menjadi perdebatan dipublik adalah pembenaran HAM-nya masing-masing dan masing-masing pula saling merasa dilecehkan. Negara Republik Indonesia menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sila pertama, hal ini menunjukan bahwa negara melindungi dan mengakui agama berikut entitas didalamnya bukan memerintah berdasarkan hukum agama (sekuler). Dalam hal inilah negara harus berdiri sebagai organisasi kekuasaan yang dapat mengatur kebijakan-kebijakan instansi publik dibawah naungannya agar tidak menjadi tumpang tindih serta konflik kepentingan. Pada pengertian lain negara harus mampu memilah  mana yang harus diseragamkan mana yang akan menimbulkan kesenjangan dan konflik sosial. Tentu saja akan menjadi dinamika yang aneh untuk negara jika semua pemeluk agama diberikan kebebasan untuk berlomba mengeksplorasi aksesesoris keagamaan masing-masing pada instansi-instansi publik. Dan mungkin akan merasa tidak adil juga bagi  agama lainnya  jika suatu agama saja yang diberikan kebebasan untuk mengekplorasi aksesorisnya pada instansi-instansi publik. Dilema ini akan terus ketika berlarut pemerintah tidak dapat mengkotakkan  antara budaya dengan agama secara proporsional sebagai dinamisnya pekembangan masyarakat.
Konteks pelarangan jilbab di Bali jika dibenturkan dengan konsep Hak Asasi Manusia, tentunya ini akan menjadi notabena fakta terhadap apa yang terjadi pada Daerah Istimewa Aceh. DI Aceh secara istimewa diberikan otonomi khusus dalam untuk mengatur corak ragam budayanya sendiri bahkan DI Aceh secara preventif dapat dan memiliki kewenangan untuk memproteksi dari ancaman terhadap budayanya. Bahkan banyak kajian akademis mengenai syariat di Aceh signifikan membenarkan atas telah tercerminkannya  Pasal 18 B Amandemen Kedua UUD 1945.Tentunya akan menjadi perdebatan yang alot secara nasional jika Bali meminta atau diberikan otonomi seperti di Aceh. Disinilah terlihat tidak strategisnya fungsi pemerintah memecahkan permasalahan sosial dalam masyarakat ditambah in-konsistennya antar peraturan perundangan yang ada serta berbanding lurus dengan sentimen-sentimen pribadi yang sengaja didoktrinkan oleh elemen kelompok masyarakat tertentu.

Kontraversi Bank Syariah

Suatu kesempatan Dr.Hj.Henri Saparini pengamat ekonomi dalam dialog kebangsaan mahasiswa di Bogor 2008, mengatakan bahwa; Sistem Ekonomi syariah adalah satu sistem ekonomi diantara banyak sistem ekonomi yang ada didunia, maka sistem ekonomi syariah ini bukan lagi milik umat Islam saja. Pendapat itu memang benar, namun hal itu menjadikan sudut pandang yang sempit dari kehidupan bernegara. Hal yang perlu diingat bahwa negara tidak terbentuk dari kekuatan bidang ekonomi saja. Bidang politik, hukum, maupun budaya adalah bidang-bidang yang memperkuat stabilitas kehidupan bernegara serta tidak dapat dipisahkan dari satu dengan lainnya. Jika sistem Syariat itu merasa penting dan berguna bagi masyarakat Indonesia maka seharusnya sistem tersebut harus dinasionalisasi oleh pemerintah sehingga karakter eksklusif peristilahan bagi suatu agama tidak tercantum dalam sistem ekonomi tersebut. Stigma masyarakat yang multi kultur dan religi belum mampu menerima secara dewasa mengenai peristilahan seperti ini, baik itu umat agama yang dipakai entitas keagamaannya akan merasa superior ataupun umat agama lainnya akan memiliki sudut pandang menjadi pihak diluar dari pada sistem.
Dari perdebatan-perdebatan yang terjadi pada publik, jika dicermati lebih dalam sebenarnya bukan masalah entitas-entitas ekonomi yang ada dalam sistem syariah tersebut. Sudut pandang sosial, budaya, serta religi yang terjadi dalam peristilahannya adalah hal yang sangat sensitif bagi sekelompok masyarakat. Tidak dapat disalahkan juga dalam masyarakat majemuk, jika ada beberapa pendapat ; sistem bunga diganti dengan bagi hasil mungkin masih dapat diterima umum, tapi bagaimana dengan yang umat lainnya yang tidak pernah mengenal pemahaman dan kata “wajib zakat”. Dari petikan penyataan itu sebenarnya ada sikap pesimistis yang terjadi dalam suatu kelompok sosial masyarakat dalam memandang suatu sistem ekonomi yang telah turut dicanangkan oleh pemerintah. Sebagaimana pidato Presiden tanggal 17 November 2013 Pencanangan Gerakan Ekonomi Syariah (Gres !), sebenarnya memiliki dualisme pemahaman. Pemahaman pertama; ketidakpahaman pemerintah sendiri mengenai syariah, karena dengan meng-insersi syariah sepenuhnya pada semua lini dalam kehidupan bernegara, ini berarti menghilangkan sifat eksklusifnya dari dasar-dasar mengapa sistem tersebut diciptakan/dijalankan. Sebagai sebuah sistem ekonomi, Syariah sendiri mempunyai batasan-batasan yang bersifat religius yang suatu saat akan berbenturan dengan sektor-sektor ekonomi yang telah lama ada dan tidak dapat dimasukkan pada ranah syariah. Pemahaman Kedua ; Pemerintah memang mengerti Syariah, karena melihat adanya suatu peluang untuk mengkemas suatu ideologi atau sebuah konspirasi dalam bentuk komunikasi politik dan sosial. Pemahaman inilah sesungguhnya menjadi suatu konspirasi yang melemahkan rasa nasionalisme sebagai warga negara Indonesia.

Penutup

Seperti kata Bung Karno; jangan sekali-kali melupakan sejarah. Memang harus dipahami bersama sebagai bentuk kebhinekaan Indonesia, walaupun kontraversi Piagam Jakarta masih menjadi perdebatan sengit antar kelompok masyarakat. Nilai positif yang dapat diambil dari pristiwa Piagam Jakarta adalah; Jika tokoh-tokoh yang terlibat dalam pembuatan Piagam Jakarta notabena mayoritas islam tidak menghargai keberagaman yang ada di Indonesia, mungkin segala pendapat, dalil, politik ataupun konspirasi yang diajukan oleh wakil-wakil dari Indonesia Timur pada saat itu (diataranya sam Ratu Langi & Mr.Ketut Pudja), maka tokoh-tokoh tersebut dengan segala cara dan upaya  menegakkan dan mempertahankan Piagam Jakarta, dan bahkan mungkin pada saat itu juga dengan sengaja dan rela melepaskan Indonesia sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan dimasukkannya Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945, paradigma sekelompok masyarakat menyalahartikan Piagam Jakarta sebagai bentuk negara menuju sekuler adalah suatu kesalahan besar. Pengamalan Piagam Jakarta seutuhnya dengan konsep “menjalankan syariat bagi para pemeluk-pemeluknya”  konstitusi dan negara harus mampu memisahkan yang mana pemeluk Islam dan yang mana bukan pemeluk Islam. Termasuk negara juga harus mampu memisahkan mana hal yang namanya pemerintah, negara, dan agama Islam. Dalam pengertian lain bahwa pemeluk suatu agama adalah orang bukan instansi ataupun organisasi, sehingga bagi bukan pemeluk Syariat tidak dapat diwajibkan ataupun dipaksa mengikuti kebijakan ataupun aturan-aturan yang ditetapkan oleh syariat. Namun kembali lagi akan menjadi pertentangan paradigma sosial dalam masyarakat ketika pemerintah menegaskan sekat-sekat yang mekotakkan masyarakat, mengingat bukan hal itulah yang diharapkan untuk ajegnya Bhineka Tunggal Ika.


Salam Prabu : Solusikan dengan Komunikasi, Komunikasikan dengan Solusi