Organisasi negara tidak begitu jauh jika diasumsikan
dengan sebuah rangkaian unit kendaraan bermotor. Selayaknya satu unit motor, negara
menempatkan Legislatif sebagai mesin utamanya, Eksekutif sebagai roda hingga
rangka dan stang kemudinya, sedangkan Yudikatif ditempatkan sebagai rem-nya. Semua
bagian dari kendaraan tersebut tidak ada yang tidak penting dalam upaya mengoperasikan
unit motor tersebut. Misalkan saja unit motor tersebut tidak ada rangka, roda
dan stang kemudi, tentu tidak mungkin ada tempat rem berpijak ataupun tidak
mungkin juga mesin dapat dapat melaju ketempat yang dikehendaki. Begitupun
rangka, roda dan stang serta rem tidak akan berfungsi sempurna ketika tidak ada
mesin penggeraknya. Senada dengan kasus itu juga, jika unit motor telah lengkap
namun tanpa dilengkapi dengan rem, maka
tentunya melajukan kendaraan akan perlu kelihaian dan kewaspadaan yang sangat tinggi
agar tidak terjadi kecelakaan yang menyebabkan semua rangkaian unit tidak
berfungsi. Satu kesatuan rangkaian badan-badan negara tersebut, itulah yang
disebut sebagai Trias Politika.
Teori Trias politika ini diciptakan sebagai
fungsi chek & balance dan mengatur hubungan antar kekuasaan lembaga
negara dalam menjalankan pemerintahan. Indonesia sendiri menerapkan Trias
Politika sebagai pembagian kekuasaan (devide
of power) bukan sebagai pemisahan kekuasaan (sparation of power). Sehingga untuk menjalankan fungsi dan
peranannya lembaga-lembaga negara ini diberikan kekuasaan yang setara serta
tidak ada satupun yang bersifat superior terhadap lembaga negara lainnya. Dalam
artian bahwa dalam hal pembagian kekuasaan jika diberikan Perkuatan Legitimasi
kepada salah satu Lembaga Negara ini dikhawatirkan akan menyebabkan konflik
negatif kepentingan dalam pemerintahan itu sendiri.
Dengan adanya Revisi UU MD3 dan, sesungguhnya
merupakan suatu sifat Perkuatan Parlemen (legislatif/DPR) sebelum lembaga
Negara lainnya menjalankan fungsi dan peranannya. Perkuatan Parlemen berarti
menambahkan sifat superiornya Parlemen terhadap Lembaga Negara lainnya seperti
Eksekutif, Yudikatif, termasuk aparat penegak hukum. Ketimpangan kekuasaan ini
tentunya pastinya juga akan menghambat fungsi dan peran Lembaga Negara lainnya.
Hal-hal yang mendasar dalam UU MD3 yang menyebabkan Perkuatan Parlemen diantaranya
adalah;
- Dalam pasal 80 hak anggota DPR mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan, hak ini dapat diartikan sempit oleh anggota DPR jika tanpa prosedur yang jelas. Seiring dengan maksud tersebut, hal ini menjadi ambigu/kekaburan norma ketika Anggota DPR berkewajiban menempatkan diri mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan. Indikasi yang kemungkinan dapat terjadi adalah dalih-dalih Anggota DPR menjalankan pencitraan pribadi bertamengkan uang negara.
- Hak imunitas yang berlebihan (pasal 224) diantaranya anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana dalam kapasitas tugas dan wewenangnya tidak dapat dipanggil dan diminta keterangan sebelum mendapat persetujuan tertulis dari Majelis Kehormatan Dewan (MKD). Hal ini tentu sangat bertentangan dengan prinsip equality before the law dan mengesampingkan sifat hukum pidana sendiri sebagai hukum materiil (kebenaran absolut). Terlebih prasangka hukum atas kesempatan untuk dapat menghilangkan alat bukti ataupun melarikan diri serta merta menjadi kesempatan yang dapat digunakan seluas-luasnya.
- Masih dalam pasal 224, MKD berubah menjadi
aparat penegak hukum sekaligus memiliki fungsi yudikatif dengan tidak
memberikan persetujuan pemanggilan terhadap Anggota DPR yang diduga yang diduga
melakukan tindak pidana dalam kapasitas tugas dan wewenangnya menyebabkan
pemanggilan tersebut menjadi batal demi hukum. Yang menjadi permasalahan hukum
adalah keputusan subyektif dari MKD dapat dijadikan suatu konspirasi sebagai
penggelapan hukum.
Hapusnya kewajiban DPR melaporkan pengelolaan
anggaran kepada publik dalam laporan kinerja tahunan (Pasal 73 angka 5 UU 27
2009) dan dihapusnya Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) (Pasal 110 UU
27 2009). Dua pasal ini semakin menyangsikan masyarakat bahwa DPR akan berlaku
transparan terhadap keuangan negara. Padahal dengan adanya publik dan BAKN
adalah indikator pengawasan terhadap kinerja DPR.
Bentuk-bentuk Perkuatan Parlemen seperti
inilah semakin meningkatkan mosi tidak percaya publik terhada Parlemen/DPR.
Sehingga sementara patut dibenarkan adanya kelompok-kelompok masyarakat yang
kontra dengan undang-undang ini.Yang seharusnya publik merasa diayomi
hak-haknya dan partisipasi politiknya, namun sebaliknya justru publiklah yang
mengayomi dan menjadi korban kepentingan-kepentingan Anggota DPR.
Belum lagi selesai persoalan UUMD3, publik
kembali berpikir dengan sikap pro dan kontra terhadap Rancangan UU Pilkada. Pro
kotra yang terjadi dalam publik adalah setuju dan tidaknya Kepala daerah dipilih
langsung. Seluruh perdebatan yang terjadi terhadap Pemilihan kepala daerah
masing-masing memunculkan suatu kebenaran-kebenaran yang faktual ataupun secara
konstitusional. Namun demikian harapan kesetabilan politik dalam negri
Indonesia seidealnya jangan sampai kembali terjadi Perkuatan salah satu Lembaga
Negara. Diluar sikap dukung-mendukung antar koalisi partai, setidaknya ada
beberapa hal yang harus menjadi perhatian yang sangat serius ketika
undang-undang ini diterapkan atau tidak. Sehingga korelasi-korelasi teori hukum
ini setidaknya memberi pandangan bagaimana sebaiknya pemilihan kepala daerah,
diantaranya;
- Presiden, Gubernur, dan Bupati adalah lembaga negara/jabatan yang memegang fungsi dan peran Eksekutif. Secara struktur Gubenur adalah perpanjangan tangan dari Presiden, dan Bupati adalah perpanjangan tangan dari Gubernur. Sehingga dalam struktur vertikal Eksekutif,seluruh jabatan-jabatan tersebut idealnya memiliki visi & misi yang sama serta saling mendukung kebijakan yang dijalankan. Jika antar jabatan dalam Eksekutif saling berbeda misi dan visi tentunya tidak akan terjadi pemerataan berlakunya kebijakan negara.
- DPR & DPRD adalah lembaga Legislatif negara, yang tidak diberikan fungsi dan peran sebagai Eksekutif (eksekutor). Dalam artian bahwa; memberikan DPR memilih Kepala Daerah berarti DPR dapat menjelma sebagai eksekutor.
- Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum Indonesia. Jika mutlak dan secara sempit menerapkan Sila Ke-4 Pancasila, bahkan semua bentuk Pemilu di Indonesia seharusnya tidak dapat dilaksanakan sebelum dilakukannya musyawarah. Karena Sila Ke-4 menghendaki seluruh keputusan didasari musyawarah yang menghasilkan mufakat. Yang berarti Pemilihan Kepala Pemerintahan terlebih dahulu dilakukan melalui kesepakatan politik yang mufakat dan tidak ada pengesampingan terhadap suara minoritas sekecil apapun. Baru setelah musyawarah tidak menemukan mufakat selanjut dilakukan pemungutan suara (one man one vote).
- Kenisbian kehidupan bernegara bahwa; kelompok publik yang memilih mendudukan seorang anggota parlemen, pasti belum tentu kemudian memiliki pendapat, pandangan ataupun sikap yang sama atas kebijakan dan keputusan dari anggota parlemen tersebut. Ketika hal ini terjadi, maka sebagaimana maksud Sila Ke-4 suara publik tersebut harus diperhitungkan dalam suatu musyawarah yang mufakat. Ketika tidak-pun menemukan mufakat dari publik tersebut, maka sudah tentunya ditentukan dengan pemungutan suara juga.
- 10 Catatan/syarat Perbaikan dari Demokrat untuk RUU Pilkada (Tribunnews, 19/9/2014). Sesungguhnya 10 syarat yang di ajukan SBY, lebih tepat untuk memperbaiki undang-undang partai. Dengan baiknya fungsi rekrutment dan regulasi kebijakan internal partai pastinya membawa dampak calon-calon pejabat pemerintahan yang diajukan terseleksi lebih baik dan berkompeten.
- Demokrasi memang mahal Bung…!(red) Mahalnya demokrasi bukan karena berapa besar uang negara yang keluar, tapi kepuasan rakyat ikut berpesta demokrasi dan menikmati hak-haknya sebagai warga negara sebagai hasil dari pesta demokrasi itu yang lebih mahal.
Jika dapat ditarik kesimpulan dari apa yang telah
diuraikan diatas; janganlah menjadikan konstitusi sebagai tameng kepentingan
guna Perkuatan Lembaga Negara. Harapan diciptakan konstitusi dalam kerangka
Trias politika adalah untuk terjadi perkuatan daya atur pemerintah dalam arti
luas dan negara baik kedalam maupun keluar. Sangat tepat Lawrence
M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum dalam kehidupan bernegara selalu menyaratkan berfungsinya semua
komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga
komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure), substansi hukum
(legal substance), budaya hukum (legal culture). Maka semakin
dewasa Negara politik Indonesia saat ini, haruslah beriring dengan tumbuhnya
karakter membangun negara dari seluruh elemen-elemen negara.